JAKARTA, KOMPAS.com
 Bukan hanya penghuni rumah susun sederhana sewa yang diawasi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga memantau para birokrat pengelola. Pemonitoran ini dilakukan untuk menghindari penyimpangan pengelolaan rusunawa yang diduga melibatkan mereka.

Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah DKI Jakarta Yonathan Pasodung mengatakan, saat ini dia dan tim kecil sedang mengumpulkan bukti-bukti terkait persoalan tersebut. Langkah itu sebagai respons adanya laporan tentang praktik pungutan di Rusunawa Pinus Elok oleh aparat pemerintah.

”Kami memang mendengar masalah itu, tetapi belum dapat memastikan siapa yang ikut mengacaukan pengelolaan rusun. Prinsipnya, saya tidak akan membela siapa pun meskipun jika anak buah saya terlibat,” kata Yonathan, Minggu (23/2), di Jakarta.

Jika anak buahnya terlibat, langkah pertama yang dilakukan adalah memindahkan dari tempat tugas lama. ”Target saya tidak hanya menata hunian, tetapi juga aparat dinas perumahan yang nakal,” kata Yonathan.

Terkait sistem pengawasan, dinas perumahan selalu melibatkan penghuni agar lebih akurat. Informasi penghuni ini menjadi langkah awal penindakan di lapangan.

Di Rusunawa Pinus Elok, misalnya, Dinas Perumahan DKI mengosongkan 44 unit rusun, begitu pun 45 unit rusun di Cakung Barat, dan 17 unit rusun di Marunda. Pengosongan itu dilakukan karena dihuni oleh warga yang tidak berhak. Praktik alih sewa ini dilarang dari awal oleh Pemprov DKI.

”Kami beri waktu mereka sampai pekan depan untuk mengosongkan sendiri rusunnya. Jika tidak, kami akan kosongkan paksa,” kata Yonathan.

Tak serius

Namun, keterlibatan warga dalam pengawasan pengelolaan rusun dinilai tidak serius. Salah satunya kejadian penganiayaan pada pertengahan 2013 lalu yang menimpa seorang penghuni Rusunawa Pulogebang, Rinaldi.

Dalam kasus itu, Rinaldi mengalami penganiayaan setelah melaporkan kepada media tentang praktik jual beli rusun oleh istri penanggung jawab rusun. Pada malam hari, Rinaldi dianiaya 10 orang. Kasus itu dilaporkan ke Polres Jakarta Timur, tetapi tidak ditanggapi serius oleh dinas perumahan.

Sementara terungkapnya jual beli unit rusun di Pinus Elok juga terungkap dari pengakuan warga yang menempati unit tidak melalui prosedur semestinya. Sebelumnya, Kepala Seksi Pelayanan Unit Pengelola Rusun DKI Wilayah III Ledy Natalia mengatakan, kasus itu dapat terungkap dari data yang ada di dinas perumahan. Sebanyak 44 unit di rusun itu semestinya kosong dan dapat digunakan untuk warga yang terkena proyek normalisasi Waduk Ria Rio.

Dari hasil pemeriksaan diketahui ada salah seorang staf pengelola rusun yang turut mengambil andil dan memberi akses bagi warga lain untuk menempati rusun itu.

Padahal, syarat menghuni rusunawa adalah harus mendaftar langsung ke Dinas Perumahan DKI dengan membawa sejumlah dokumen persyaratan, seperti KTP, kartu keluarga, dan surat keterangan dari kelurahan belum memiliki rumah.

Bukan gertak sambal

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengingatkan, ancaman sanksi bagi mereka yang mengacaukan pengelolaan rusun bukanlah gertak sambal. Tidak cukup hanya dengan sanksi administratif, tetapi juga perlu sanksi pidana.

”Mereka pikir peringatan kami hanya gertak sambal. Tunggu saja siapa yang masuk penjara jika masih berani main-main soal rusun,” kata Basuki.

Menanggapi persoalan itu, peneliti Jurusan Arsitektur dan Tata Kota Universitas Tarumanagara, Darrundono, menilai, kekacauan pengelolaan rusun karena faktor demografi kurang menjadi pertimbangan. Faktor tersebut, kata Darrundono, menjadi faktor penentu pengelolaan rusun.

Dari persoalan itu dapat diketahui hitungan kebutuhan hidup warga, subsidi yang dibutuhkan, rekayasa sosial yang dibutuhkan, termasuk sistem pengelolaan yang tepat.

”Pemerintah jangan sampai terjebak pada subsidi yang berlebihan. Pengelolaan harus efektif, jika tidak harus mulai memikirkan alternatif merumahkan warga berpenghasilan rendah,” kata Darrundono. (NDY/MDN)