"Ya kalian mau buat tenda, ya silakan saja. Saya mau tahu dia tahan berapa lama buat tenda. Kita lihat saja berapa lama dia tahan (hidup di tenda)," kata Basuki, di Balai Kota, Kamis (28/5/2015).
Basuki juga membantah bahwa pihaknya tidak melakukan sosialisasi kepada warga korban penggusuran. Sejak jauh-jauh hari, lanjut dia, pejabat DKI setempat sudah memberi tahu warga bahwa lahan yang mereka duduki adalah lahan negara dan segera dilakukan pembongkaran. Bahkan Pemprov DKI telah memberi toleransi penundaan penggusuran setelah pelaksanaan ujian nasional (UN).
"Dulu mereka minta lho, rumahnya digusur setelah anak-anak ujian nasional. Kalau kami enggak gusur sekarang, nanti ditunda sampai Lebaran terus Natalan, ujian lagi, kapan selesainya," kata Basuki.
Kasus penolakan pembongkaran permukiman kumuh di Pinangsia, Jakarta Barat, lanjut dia, persis seperti penertiban Waduk Pluit. Kedua kelompok warga itu juga melakukan aksi unjuk rasa di kompleks kediaman Basuki di Pantai Mutiara.
Di sisi lain, Basuki juga tidak menerima keluhan warga Pinangsia atas perbedaan jarak trase pembongkaran dengan Pademangan, Jakarta Utara. Rabu (27/5/2015) kemarin, Basuki dicegat oleh seorang warga Pinangsia bernama Gugun di Balai Kota. Gugun menyesalkan mengapa rumahnya turut digusur, padahal berjarak 10 meter dari bibir Kali Ciliwung Lama. Sementara permukiman yang digusur di Pademangan hanya berjarak 5 meter dari bibir Kali Ciliwung Lama.
"Kalau pikirannya kayak gitu, saya bilang saja, 'Kenapa enggak kamu dudukin Balai Kota saja sekalian, iya enggak'. Ya sudahlah, mereka kalau mau lapor ke Komnas HAM ya enggak apa-apa, ini kan hidup ada dasar negara, bukan asal melanggar HAM," kata Basuki.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.