Atas dasar itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta tidak sependapat dengan pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menyebut hutan bakau di Pantai Indah Kapuk dan Pluit, Jakarta Utara rusak karena abrasi.
"Menahan gelombang tsunami saja mampu, apalagi cuma sekadar abrasi," kata Direktur Walhi Jakarta, Puput Putra, Selasa (25/8/2015).
Menurut Puput, kerusakan hutan bakau di PIK dan Pluit lebih disebabkan terjadinya perubahan bentang alam oleh tangan manusia, yang mengubah lahan yang sebenarnya merupakan daerah resapan air itu menjadi permukiman.
"Perubahan wilayah PIK dan Pluit dari kawasan hutan lindung bakau menjadi permukiman kondominium ini dalam sejarahnya penuh dengan kontroversi," ujar dia.
Puput mengatakan, perubahan bentang alam yang terjadi di wilayah pantai utara Jakarta itu pula yang membuat sampai saat ini wilayah tersebut sangat mudah terendam banjir. "Banjir di Pluit adalah indikasi wilayah itu telah mengalami pengurangan daya serap," ujar dia.
Sebelumnya, Ahok mengatakan hutan bakau hanyalah sebagian kecil lahan di Pluit serta PIK. Ia mengatakan pada tahun 1984, sebagian tumbuhan bakau hancur lantaran abrasi.
Pengembang yang mendapat izin membangun perumahan di Pluit kembali membuat hutan bakau. Selain itu, Ahok menyebut lahan di Pluit dulunya adalah tanah gembur, kemudian dipadatkan oleh pengembang untuk membangun perumahan. (Baca: Ahok: Lahan di PIK dan Pluit Dahulu Tambak Udang)
Pengembang yang memadatkan tanah itulah yang dinilainya berkontribusi menanam kembali bakau. "Hutan mangrove yang ada sekarang di PIK dan Pluit itu adalah hasil kontribusi pengembang setelah melihat kondisi mangrove yang hancur karena abrasi," kata Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (25/8/2015).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.