JAKARTA, KOMPAS.com — Saksi ahli dalam sidang lanjutan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin, Djaja Surya Atmadja, menjelaskan dua macam kematian secara umum dalam rangka membedakan mana kematian yang wajar dan mana yang tidak wajar. Djaja bersaksi dalam sidang lanjutan mengadili Jessica Kumala Wongso, terdakwa kasus pembunuhan Mirna, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (7/9/2016).
"Kalau ada kejadian orang sakit sampai mau meninggal, pertama-tama langkahnya dia dibawa ke rumah sakit. Ketika ditolong dan sudah meninggal, dokter memutuskan, apakah meninggalnya wajar atau tidak. Kalau wajar, surat kematian dikeluarkan oleh dokter di UGD. Kalau kematian tidak wajar, dokter UGD buat surat rekomendasi untuk pemeriksaan forensik atau dilakukan otopsi," kata Djaja di hadapan majelis hakim.
Kematian tidak wajar yang dimaksud Djaja meliputi kecelakaan, pembunuhan, atau bunuh diri. Setelah mendapatkan penjelasan itu, salah satu kuasa hukum Jessica, Otto Hasibuan, menunjukkan dalam layar proyektor tampilan sebuah surat kematian yang dikeluarkan oleh dokter di Rumah Sakit Abdi Waluyo.
Dalam surat tersebut tertera bahwa Mirna dinyatakan meninggal dunia tepat pukul 18.30 WIB setelah sempat diberi pertolongan berupa bantuan napas serta resusitasi jantung dan paru. Otto pun menanyakan apakah artinya bila surat kematian dikeluarkan oleh dokter di Rumah Sakit Abdi Waluyo tersebut.
"Kalau surat kematian dari dokter di UGD, berarti dinyatakan kematian yang bersangkutan adalah wajar. Kalau tidak wajar, pasti akan ada permintaan pemeriksaan forensik, baru nanti surat kematian dikeluarkan oleh dokter forensik setelah diperiksa menyeluruh," tutur Djaja. (Baca: Ahli Patologi dari Jessica: Cari Penyebab Kematian Harus Dilakukan dengan Otopsi)
Djaja pun mengungkapkan, pemeriksaan forensik dalam rangka mencari tahu penyebab kematian seseorang harus dilakukan dengan memeriksa seluruh tubuh. Jika hanya mengambil sampel salah satu organ, hal itu tidak bisa dikatakan sebagai pemeriksaan forensik berupa otopsi.
"Kami ini kan terikat dengan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Dokter hanya melaksanakan permintaan penyidik. Penyidik berhak meminta, apakah dilakukan otopsi, atau hanya pemeriksaan sampel," ujar Djaja.