JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Harjono, menilai kewenangan gubernur sebagai kepala pemerintahan melekat. Argumen ini sesuai dengan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang dalam ketentuannya menegaskan kepala pemerintahan pasti melekat pada gubernur.
Harjono menambahkan, seseorang tidak lagi menjadi gubernur bila jabatannya sebagai gubernur berhenti.
"Tidak mungkin ada kepala pemerintahan lain, selain gubernur, dan tidak ada gubernur tanpa ada status kepala pemerintahan," kata Harjono di Gedung MK, Jakarta, Senin (26/9/2016).
Kepala pemerintahan, lanjut Harjono, berkaitan dengan fungsi yang mempunyai tugas, kewajiban, dan kewenangan yang diberikan khusus untuk kepala pemerintahan dan gubernur. Tugas dan kewenangan gubernur itu diatur dalam Pasal 65 ayat 1 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015.
Dalam pasal itu diatur beberapa tugas dan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah, salah satunya menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda tentang perubahan APBD, dan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas bersama.
"Pasal di atas (APBD) ditugaskan kepada gubernur, tidak pada pejabat lain di pemerintah provinsi," tambah Harjono.
Harjono menambahkan, dalam konstitusi tidak disebut jabatan wakil gubernur untuk urusan tersebut. Oleh karena itu, posisi wakil kepala daerah sebenarnya hanya sebagai pembantu kepala daerah.
Bila wakil gubernur belum dilantik sebagai gubernur, maka kewenangannya hanya sebatas tugas sehari-hari. Tugasnya tidak berkaitan kewenangan strategis, seperti perizinan keuangan dan lainnya.
Harjono merupakan ahli yang dihadirkan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam permohonan soal cuti petahana selama masa kampanye. (Baca: Dibela Mantan Hakim MK dan Refly Harun, Ahok Ucapkan Terima Kasih)
Ahok mengajukan permohonan soal Pasal 70 ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. UU tersebut menyoal cuti selama masa kampanye bagi petahana.