JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, menilai ada ragam faktor yang menyebabkan terjadinya politik uang dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Salah satunya adalah budaya permisif.
Kondisi ini lumrah terjadi pada kelas menengah. Donal menyebut pihak dalam situasi ini merupakan kelas menengah labil karena mau menerima dari kanan dan kiri.
“Jadi terima semuanya, kalau ada yang ngasih Rp 100.000 dari nomor dua dan tiga, soal pilihan nomor dua (setelah uang atau pilihan masing-masing),” kata Donal di Kantor ICW, Jakarta Selatan, Selasa (18/4/2017).
Kelas menengah labil ini dianggap pragmatis dan hanya menjadi momen Pilkada atau Pemilu untuk mencari uang secara instan. Uang tersebut tak memperkaya mereka.
Baca: ICW: Enggak Mungkin Politik Uang Terjadi di Menteng
“Mereka juga sadar uang Rp 200.000-Rp 300.000 tidak akan mengubah nasib mereka, tapi karena mereka permisif dengan politik uang, ya sudah terima saja, soal pilihan urusan lain,” kata dia.
Selain budaya permisif, Donal mengatakan faktor lain politik uang adalah penegakkan hukum yang lemah.
Menurut dia, dalam pasal 187 a ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Pilkada udah mengatur dengan tegas sanksi kepada setiap orang atau kandidat yang melakukan kegiatan berkaitan dengan politik uang. Namun, tak banyak publik mengetahui pesan dari aturan tersebut.
Baca: ICW: Kandidat Berjudi Lakukan Politik Uang Tanpa Pikir Dampaknya
“Banyak masyrakat belum sadar, ketika mereka menerima politik uang, mereka bisa jadi subjek yang dijerat secara hukum,” kata dia.
Oleh karena itu, pemahaman soal politik uang harus lebih digaungkan lagi kepada publik. Dengan demikian, politik uang bisa diminimalisir.