JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eskekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Suci Fitria Tanjung menilai Pemerintah Provonsi DKI Jakarta belum maksimal dalam pengendalian emisi yang menjadi sumber pencemaran udara.
Padahal, kata Suci, hal itu sudah tertuang dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara gugatan polusi udara di Ibu Kota yang diajukan oleh warga Jakarta pada 2019.
Pada 2020, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat memutuskan Presiden Joko Widodo hingga Gubernur DKI Anies Baswedan melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan yaitu polusi udara.
Baca juga: Polusi Udara Jakarta, ICEL: Banten dan Jabar Juga Harus Tanggung Jawab
Menurut Suci, ada domain yang tidak dijalankan secara baik dari hasil putusan tersebut, baik itu pemerintah pusat hingga Pemprov DKI Jakarta. Hal itu, kata Suci, membuat pengendalian emisi di Jakarta menjadi karut marut.
"Jakarta memang belum maksimal pengendalian emisinya. Namun, setidaknya upaya sama juga bisa dilakukan di Jawa Barat dan Banten. Kami melihat Banten belum melakukan apa-apa," ujar Suci kepada Kompas.com, Kamis (23/6/2022).
Suci menilai perlu ada tekanan dari pemerintah pusat untuk mengendalikan emisi yang ada di Ibu Kota. Pasalnya, permasalahan ini seharusnya menjadi tanggung jawab bersama, tidak hanya Jakarta.
Baca juga: Ganjil Genap Tak Efektif Kurangi Polusi Udara, Walhi Jakarta: Justru Pemicu Mobil Baru
"Artinya ada kelemahan proses penanganan kebijakan atau political will dari pemerintah pusat untuk mensupervisi dan menginventarisasi emisi lintas batas," tutur Suci.
Suci menilai upaya pengendalian di Jakarta masih terkendala beberapa hal, termasuk soal lintas lembaga masih belum maksimal koordinasi.
Dalam konteks uji emisi, Suci melihat masih terkendala dengan fasilitas bengkel yang belum sepadan dengan rasio dengan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta. Akhirnya ini menjadi kendala dalam penegakkan aturannya.
"Padahal, kata dia, sebenarnya uji emisi ini sifatnya mandatory (wajib) bukan voluntary (sukarela)," kata dia.
Baca juga: Anies Minta Semua Perusahaan Pantau Sumber Polusi dan Emisi di Tempat Masing-masing
Dari konteks upaya transisi energi, Suci juga mencatat kontribusi emisi cukup besar berasal dari dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan industri yang letaknya di luar Jakarta.
"Dorongan untuk melakukan transisi energi itu harus dilakukan secepatnya karena batu bara itu energi kotor. Sehingga, harus segera keluar dari penggunaan energi fosil," ujar Suci.
Adapun DKI Jakarta sempat menempati posisi pertama sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia pada Rabu (15/6/2022).
Baca juga: Penduduk Jakarta Disebut Kehilangan Harapan Hidup 4 Tahun Akibat Polusi Udara
Hasil tersebut dipublikasikan oleh situs IQ Air yang mengoperasikan informasi kualitas udara real time gratis terbesar di dunia.
Di samping itu, Air Quality Life Index (AQLI) atau indeks kehidupan kualitas udara berdasarkan laporan dari Energy Policy Institute at the University of Chicago (EPIC) menunjukkan, penduduk yang berada di Jakarta diperkirakan kehilangan harapan hidup rata-rata 3-4 tahun akibat polusi udara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.