TANGERANG, KOMPAS.com - Satu bangunan tua bercorak Tionghoa berdiri kokoh di Jalan Cilame, Kelurahan Sukasari, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang, Banten.
Bangunan dua lantai yang diperkirakan dibangun pada abad ke-17 tersebut menyempil di tengah lapak-lapak pedagang pasar tumpah yang berada di sisi selatan kawasan kuliner Pasar Lama Tangerang.
Dari depan gerbang tampak sejumlah ornamen dan artefak Tionghoa. Bangunan ini adalah Museum Benteng Heritage yang dimiliki dan dikelola oleh Udaya Halim, seorang warga asli peranakan Tionghoa Tangerang.
Bangunan tua ini menyimpan banyak cerita, mulai dari kisah armada Cheng Ho (1405-1433) yang berlayar dengan rombongan ratusan kapal ke Nusantara, hingga catatan tentang empat orang Tionghoa yang hadir dalam ikrar Sumpah Pemuda 1928.
Tegel di lantai satu masih asli dari abad ke-17. Ornamen pecahan keramik dan berbagai bahan yang membentuk relief kisah Tionghoa klasik menghiasi lantai satu bangunan.
Baca juga: Tol BSD Tangerang Selatan Terendam Banjir, Berikut Jalur Alternatif yang Bisa Dilalui
Sementara di lantai dua, terdapat relief kayu yang mengisahkan kegagahan Jenderal Kwang Kong yang adil, setia, jujur, dan suka menolong. Karakter Kwan Kong ini mengilhami Udaya Halim untuk terus mengembangkan museum dan segala kegiatannya.
Namun sebelum naik ke lantai dua, pengunjung wajib melepas alas kaki sebelum naik ke lantai dua yang berlantai kayu.
Selain altar Kwan Kong, terdapat koleksi timbangan candu, aneka keramik kuno, foto-foto, serta berbagai perabot tua yang dulu umum ada di rumah keluarga Tionghoa.
Dalam sebuah sesi bersama guru-guru dari Yayasan Cahaya Guru (YCG) di Museum Benteng Heritage, yang dicatat harian Kompas, Sabtu (27/8/2022), Udaya Halim bercerita terdapat peran vital dari warga keturunan Tionghoa dalam proses perekaman lagu nasional Indonesia Raya.
Pada 1927, Wage Rudolf Supratman meminta Yo Kim Tjan (Johan Kertajasa) untuk merekam lagu ”Indonesia Raya”. Lagu tersebut direkam dalam dua versi. Pertama, Supratman bermain biola sambil menyanyikan lagu ciptaannya tersebut. Kedua, rekaman versi keroncong.
Baca juga: Pohon Tumbang di Tangerang Timpa Motor, Pengemudi Berhasil Selamatkan Diri
Udaya berharap, kehadiran museum itu dapat menambah pengetahuan tentang jejak orang Tionghoa dan kontribusinya bagi Indonesia. Hal itu dinilai penting untuk memperkuat integrasi kebangsaan.
Kehadiran empat orang Tionghoa yakni Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, Liauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwie dalam ikrar Sumpah Pemuda juga menggambarkan bahwa kemajemukan di Indonesia telah dirawat sejak dulu.
Di museum ini juga ditemukan lukisan-lukisan yang mengisahkan budaya masyarakat Tionghoa Benteng sejak dulu hingga sekarang. Salah satunya tentang festival Pehtjun atau Lomba Perahu Naga.
Festival Pehtjun merupakan tradisi yang hingga kini masih rutin dilaksanakan kaum Tionghoa Benteng di Tangerang. Dalam festival tersebut, masyarakat akan berlomba mengayuh perahu berbentuk naga di Sungai Cisadane, dimulai dari daerah Babakan sampai ke sekitar Pasar Lama.
Selama perayaan Festival Pehtjun dilaksanakan, terdapat sejumlah tradisi lain yang turut dijalankan. Tradisi pertama adalah tradisi menangkap bebek.
Baca juga: Ini Jadwal Operasi Zebra di 3 Titik Kota Tangerang