JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur eksekutif Center of Energy Security (CESS) Ali Ahmudi mengatakan, pemerintah memerlukan teknologi yang bisa menghancurkan sampah dengan cepat untuk mengimbangi jumlah sampah yang terus bertambah.
Ia memaparkan, Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta mencatat, setiap harinya DKI Jakarta menghasilkan sampah sebanyak 7.233 ton pada periode tahun 2020 sampai 2021.
Jumlah ini belum termasuk sampah-sampah tidak tercatat yang tentunya terus bertambah seiring jumlah penduduk.
Baca juga: TPS Akan Ditambah, Warga Kapuk Muara Diminta Tak Lagi Buang Sampah di Kolong Rumah Panggungnya
"Kita membutuhkan teknologi yang membuat penanganan sampah menjadi cepat agar pertambahan volume sampah yang diakibatkan peningkatan jumlah penduduk, jumlah rumah tangga, peningkatan jumlah industri, dan lingkungan yang berkejaran bisa dikelola," ucap Ali dalam diskusi manajemen pengelolaan sampah di Jakarta, Rabu (5/7/2023).
Memang, kata dia, pemerintah DKI Jakarta saat ini sudah menerapkan sistem pengelolaan sampah dengan teknologi refuse derived fuel (RDF).
Namun, itu masih belum bisa menuntaskan permasalahan sampah yang bertambah terus sekitar 10 persen per harinya.
Belum lagi, hasil akhir pengeringan sampah dari teknologi RDF ini menghasilkan banyak residu, dan dinilai kurang efektif lantaran butuh waktu untuk pemilihan jenis sampah.
Dalam satu siklus, dari sampah hingga menghasilkan produk akhir biopellet, harus melewati paling tidak lima jalur.
Baca juga: Duduk Perkara Sampah di Kolong Rumah Kapuk Muara hingga Mencuat Polemik Tanah Sengketa
Mulai dari pengumpulan sampah dari rumah tangga hingga tempat pembuangan akhir.
Kemudian, pemilahan sampah dengan teknologi sampai penyaluran sampah ke pabrik untuk diolah menjadi biopellet, butuh energi dan biaya yang tidak sedikit.
"Pada akhirnya kalau RDF itu yang diandalkan untuk mengatasi masalah sampah di Jakarta, berapa banyak yang dibutuhkan, berapa panjang prosesnya?" tutur dia.
Untuk itu, Ali menilai perlu penambahan teknologi dengan kapasitas penghancur sampah yang lebih besar dan minim residu.
Teknologi itu adalah insinerator atau lebih dikenal dengan Intermediate Treatment Facility (ITF).
Insinerator ini akan mengolah sampah dengan konsep waste to energy (sampah menjadi energi).
Baca juga: Ketua RT: Tumpukan Sampah di Kolong Rumah Panggung Kapuk Muara Menutupi 2 Hektar Lahan
Teknologi ini mampu membakar sampah hingga 97 persen, sehingga nyaris tidak meninggalkan residu. Sedangkan RDF hanya mengolah habis sampah maksimal 50 persen dari total volume sampah.