JAKARTA, KOMPAS.com - Minimnya ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta memaksa anak-anak harus bermain di tempat yang tak seharusnya seperti kuburan atau bantaran sungai.
Pengamat tata kota, Yayat Supriyatna, menilai, keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) di DKI Jakarta masih jauh dari kata ideal.
Seharusnya, sebuah kota memiliki paling tidak 30 persen RTH dari total luas wilayahnya sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Namun, RTH di Jakarta kini tak mencapai angka 10 persen.
"Masih kuranglah (RTH) sekarang ini, dari dulu isunya itu. Jarang nambah RTH di Jakarta. Ada perdebatan sembilan persen, delapan persen. Data terbaru belum ada," kata Yayat kepada Kompas.com, Senin (4/9/2023).
Baca juga: Tak Ada Tempat Bermain di Jakarta, Kuburan Pun Jadi...
Berdasarkan data Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta sesuai dalam laman informasi Jakartasatu.jakarta.go.id, cakupan RTH di Jakarta hanya seluas 33,33 kilometer persegi.
Luasan tersebut hanya mencakup 5,18 persen dari luas Jakarta yang mencapai 664,01 kilometer persegi.
Ditambah lagi, kata Yayat, saat ini sudah ada pergeseran makna dari RTH yang bukan lagi sebatas taman atau hamparan ruang terbuka.
"Memang ada perubahan kriteria di dalam RTH 2022, bahwa konteks ruang terbuka hijau itu bukan arti sekadar taman atau ruang terbuka. Tapi, pengertiannya juga termasuk taman vertikal, rooftop, wilayah resapan air juga dihitung atau misalnya hitungan secara teknis untuk menggantikan fungsi RTH yang hilang," papar dia.
Baca juga: Atasi Polusi di Jakarta, Heru Budi Janjikan Tambah 800 Titik Ruang Terbuka Hijau
Yayat menilai bahwa kebutuhan akan tanah kini mengacu pada kepentingan ekonomi. Sehingga, tanah di Ibu Kota pun kebanyakan adalah milik perorangan.
"Tanah kita ini lebih banyak pada tanah yang dikuasai oleh badan usaha dan perseorangan. Tanah itu menjadi komoditas. Kalau tanah menjadi komoditas, ya orang membeli tanah untuk kepentingan ekonomi. Kepentingan lingkungannya nanti," sambung dia.
Maka dari itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai tidak bisa mengendalikan kepemilikan tanah secara pribadi atau perseorangan.
Hal ini menjadi pekerjaan rumah besar dalam menyediakan RTH bagi publik.
"Jadi itu menjadi PR besar. Bagaimana pemerintah mampu membeli tanah. Itu juga menjadi PR besar karena pembebasannya saja mahal," kata dia.
Kuburan pun jadi