JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih mencari formula yang tepat untuk mengatasi kemacetan di Ibu Kota.
Berbagai regulasi telah dijalankan, tetapi kemacetan di Jakarta masih terjadi.
Bahkan kemacetan sudah menjadi perhatian Presiden Joko Widodo saat ia menyampaikan pesan khusus kepada Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono.
"Kemarin saya sudah sampaikan kepada Pak Heru, utamanya persoalan utama di DKI Jakarta. Macet, banjir, harus ada progress perkembangan yang signifikan. Kemudian yang ketiga hal yang berkaitan dengan tata ruang, itu saja," ujar Jokowi di Istana Negara, Senin (10/10/2022).
Terbaru, Pemprov DKI melalui Dinas Perhubungan DKI Jakarta menggelar focus group discussion (FGD) uji coba pengaturan jam kerja di kantor Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan DKI Jakarta, Cideng, Jakarta Pusat, Selasa (1/11/2022).
Tujuan pengaturan jam kerja itu untuk mengatasi kemacetan di Ibu Kota.
Adapun FGD itu dihadiri Wakil Ketua Apindo Nurjaman, Wakil Ketua Kadin Heber Simbolon, pengamat tata kota Yayat Supriatna, pengamat transportasi Azas Tigor Nainggolan, hingga Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Sistem Kelembagaan dan Tata Laksana Kemenpan RB Deny Isworo.
Pengaturan jam kerja belum mendesak
Pengamat transportasi Azas Tigor Nainggolan mengatakan, pengaturan jam kerja untuk mengurangi macet di DKI Jakarta belum terlalu mendesak dilakukan.
Sebab, yang harus diatur adalah pergerakan kendaraannya, bukan orangnya.
"Macet itu karena ketergantungan pada transportasi pribadi itu tinggi, karena layanan angkutan masyarakat itu belum terlayani dengan baik," kata Tigor kepada awak media, Selasa kemarin.
"Sementara ini kan kebutuhan manajemen transportasi, berarti harusnya apa solusinya? Pendekatannya adalah dengan mengatur pergerakan kendaraannya," imbuh dia.
Tigor mengusulkan agar pengaturan jam kerja dijadikan sebagai imbauan, bukan peraturan. Terlebih, tidak ada payung hukum yang menaungi hal tersebut.
"Jam kerja jadi imbauan, usulan, public awareness. Karena juga enggak ada dasar hukum, saya buka dua kali UU Nomor 22 Tahun 2009 enggak ada pengaturan jam kerja, yang ada dengan gage (ganjil genap)," kata Tigor.
Sementara itu, pengamat tata kota Yayat Supriatna mengusulkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengendalikan pergerakan orang ke kantor-kantor di kawasan Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan.
Sebab, kata dia, Jakpus dan Jaksel merupakan sumber kemacetan di Ibu Kota. Banyak pekerja berasal dari Bekasi dan Depok menuju perkantoran di dua wilayah tersebut saat jam kerja.
"Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan itu kantong perkantoran. Data yang paling banyak (warga yang) menggunakan mobil itu dari Kota Bekasi dan Depok. Kelas menengah ke atas," ujar Yayat.
Sehingga, lanjut Yayat, terjadi kemacetan di Tol Jagorawi karena banyak mobil dari Bekasi atau Depok menuju Jakarta saat jam kerja.
Yayat mengusulkan agar perkantoran di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan menerapkan work from home (WFH) bagi sebagian pekerjanya.
"Karena bukan (kantor atau perusahaan) manufaktur. Satu lagi pembagian waktu antara tenaga operasional dan tenaga fungsional, itu yang WFH," ujar Yayat.
Yayat juga mengatakan, ada tujuh titik kemacetan di DKI Jakarta yang harus diurai.
"Ada tujuh simpul yang menjadi bottle neck besar, mulai dari Cawang, Pancoran, Kuningan, Semanggi, Slipi, Tomang, dan Grogol, itu merupakan crossing semua," kata Yayat.
Ketujuh wilayah itu, lanjut Yayat, merupakan tempat bertemunya para pekerja dari penjuru Jakarta atau wilayah penyangga.
Yayat menambahkan, sekitar 40 hingga 60 persen pola pergerakan pekerja menuju ke Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan.
"Selatan dan pusat menjadi sumber permasalahan besar penyebab kemacetan, karena secara struktur ditempatkan perkantoran pemerintahan, jasa investasi, termasuk enam sektor yang disebutkan, properti, perdagangan, jasa, dan lain-lain," kata Yayat.
Yayat menyebutkan, penerapan ganjil genap saat ini belum bisa mengurai kemacetan di Jakarta.
"Ganjil genap hasilnya tetap macet, karena kelas menengah itu mau punya dua sampai tiga mobil itu enggak masalah. Mereka dilarang, besok masih bisa masuk. Nah itu persoalannya," kata Yayat.
Usulan asosiasi
Wakil Ketua Kadin Heber Simbolon mengatakan, pengaturan jam kerja hanya akan mengurangi volume kendaraan pada saat jam tertentu saja.
"Tanpa mengurangi jumlah (kendaraan). Penerapan pengaturan jam kerja ini juga membuat masyarakat kesulitan mendapatkan layanan publik," kata Heber.
Heber meminta Pemprov DKI menginventarisasi beberapa aktivitas masyarakat yang berpotensi menyebabkan kemacetan.
Sementara itu, Wakil Ketua Apindo Nurjaman meminta Pemprov DKI menyediakan sarana transportasi yang terintegrasi. Setelah itu baru pengaturan jam kerja.
"Dimungkinkan untuk mengubah jam kerja pada sektor-sektor pelayanan publik, misalnya ASN dan sebagainya," kata Nurjaman.
Terkendala regulasi
Wakil Kepala Dishub DKI Jakarta Chaidir menyebutkan bahwa pihaknya telah menerima usulan dari pengamat hingga asosiasi pekerja soal pengaturan jam kerja di Ibu Kota.
"Prinsipnya semua masukan dan pengamat, kami tampung, kami terima, dan nanti kami sampaikan (hasil FGD)," ujar Chaidir, Selasa kemarin.
Chaidir belum bisa memastikan apakah Dishub DKI akan mengeluarkan aturan jam kerja dalam bentuk imbauan, keputusan gubernur, atau peraturan gubernur.
Sebab, rencana pengaturan jam kerja itu terkendala regulasi.
Jika dikeluarkan dalam bentuk kepgub atau pergub, pengaturan jam kerja tidak ada payung hukumnya.
"Nanti bentuknya kemungkinan kami akan bahas lagi. Nanti kami lihat bentuknya, apakah bentuknya imbauan, atau pergub, atau kepgub," kata Chaidir.
https://megapolitan.kompas.com/read/2022/11/02/09380121/mencari-obat-mujarab-kemacetan-jakarta