DEPOK, KOMPAS.com - Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Depok memberikan penjelasan terkait kenaikan tarif pelayanan kesehatan di puskesmas.
Salah satunya soal harapan puskesmas tidak lagi bergantung pada anggaran pendapatan dan belanja (APBD).
Penjelasan lain, yakni soal mengapa tarif puskesmas baru dinaikkan saat ini. Padahal, puskesmas berstatus badan layanan umum daerah (BLUD) sejak 2016.
Tak bergantung ke APBD
Kepala Dinkes Kota Depok Mary Liziawati mengatakan, puskesmas diharapkan tidak membebani APBD karena telah berstatus BLUD.
"Bukan masalah kesehatannya, esensinya bukan masalah kesehatan, tapi tadi, status BLUD-nya," kata dia melalui sambungan telepon, Rabu (9/8/2023).
Karena berstatus BLUD, puskesmas diharapkan bisa mengelola dan memanfaatkan sendiri pendapatannya.
Pengelolaan keuangan puskesmas yang berstatus BLUD juga diharapkan bisa lebih fleksibel.
"Karena status BLUD, kan diharapkan dia (puskesmas) pengelolaan keuangannya lebih fleksibel, tidak bergantung dengan APBD. Jadi pendapatan puskesmas langsung dikelola, dimanfaatkan oleh BLUD-nya," papar dia.
Sementara itu, Peraturan Wali Kota Depok Nomor 61 Tahun 2016 tentang Pedoman Umum dan Penetapan Tarif Pelayanan Puskesmas pada Dinkes Kota Depok mengatur soal skema pengelolaan BLUD.
Dalam Bab I Pasal 1 Perwal Depok Nomor 61 Tahun 2016 disebutkan, BLUD diberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam bab yang sama juga disebutkan, tarif pelayanan kesehatan yang dibayar pasien kepada pihak puskesmas digunakan untuk menutup seluruh atau sebagian biaya pelayanan.
Kemudian, dalam Bab XI Pasal 20 Perwal Depok Nomor 61 Tahun 2016 disebutkan, puskesmas secara langsung mengelola pendapatan yang dipergunakan untuk belanja puskesmas.
Tetap didukung APBD
Mary menegaskan, keuangan puskesmas masih tetap akan didukung oleh APBD dalam kondisi tertentu.
Menurut dia, dukungan dari APBD akan digelontorkan, jika puskesmas yang berstatus BLUD tak sanggup menutup biaya operasional mereka.
"Kalau memang ada kebutuhan yang belum bisa di-cover oleh BLUD (puskesmas), pasti akan dianggarkan dari APBD. Kalau memang tidak dimungkinkan untuk pembiayaan dari BLUD, di-support APBD," kata dia.
Dorong warga ikut JKN
Tujuan tarif puskesmas dinaikkan juga agar warga menjadi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Mary menilai, warga Depok kini merasa tidak butuh JKN, program milik BPJS Kesehatan.
Sebab, warga lebih memilih membayar Rp 2.000 saat berobat ke puskesmas daripada membayar Rp 35.000 per bulan untuk premi JKN.
Oleh karena itu, tarif puskesmas kini dinaikkan menjadi Rp 10.000-Rp 30.000.
"Dengan kenaikan tarif ini, mudah-mudahan masyarakat jadi ya sudah bayar Rp 35.000 untuk JKN, sudah bisa puskesmas, rumah sakit, semua sudah terjamin," urai Mary.
Alasan tarifnya baru disesuaikan
Mary mengungkap beberapa faktor tarif puskesmas baru dinaikkan meski sudah berstatus BLUD sejak 2016.
Salah satunya, Dinkes Kota Depok saat itu tidak langsung merevisi peraturan Wali Kota Depok yang mengatur soal tarif puskesmas.
Namun, Mary tidak mengungkapkan alasan peraturan itu tak langsung direvisi.
Alasan lainnya, pada 2016, pemerintah pusat belum mewajibkan warga mengikuti program JKN.
Keikutsertaan warga dalam JKN merupakan program cakupan kesehatan semesta (universal health coverage/UHC) yang baru dicetuskan pada 2019.
"Waktu itu belum ada UHC, dorongan untuk semua masyarakat menggunakan program kesehatan kan belum ada. Kalau sekarang kan sudah program pemerintah pusat, (pada) 2024 sudah harus UHC seluruh daerah," tutur Mary.
Oleh karena itu, untuk mengejar target UHC, Pemerintah Kota Depok akhirnya menaikkan tarif pelayanan kesehatan di puskesmas agar semua warga menjadi peserta JKN.
Dengan kenaikan tarif puskesmas dari Rp 2.000 menjadi Rp 10.000-Rp 30.000, warga diharapkan menjadi peserta JKN sehingga tingkat kepesertaan program BPJS Kesehatan di Depok meningkat.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/08/10/08565971/alasan-di-balik-kenaikan-tarif-puskesmas-depok-tak-bebani-apbd-dan