"Pas Ramadhan begini sama Lebaran Haji," ucap pria asli Tanah Abang ini, kepada Kompas.com, Jakarta, Sabtu (20/7/2013).
Sehari-hari Beni bekerja sebagai pedagang kambing di Pasar Impres Tanah Abang. Lantaran bekerja sebagai pedagang kambing, Beni mengaku tidak kesulitan mendapatkan bahan baku berupa kulit.
Kulit kambing ia peroleh dari Pasar Impres. Beni lebih memilih membeli bahan kulit yang sudah kering. Di saat cuaca tak menentu seperti sekarang ini, sulit baginya untuk mengeringkan kulit kambing sendiri.
"Kalau ujan begini susah ngeringin. Tapi emang biasanya kita pakai yang udah kering. Kalau pakai yang basah kita jemur sendiri, enggak kering. Bisa ada belatung," jelas Beni.
Sementara itu, drum didapatkan dari Manggarai. Drum-drum ini adalah bekas wadah parfum. Ada juga drum bekas bahan kimia. Namun, ia tak memilih itu karena bau dan berbahaya.
Budi, salah seorang produsen bedug, sama seperti Beni. Ia pun menjadikan pekerjaan ini sebagai aji mumpung. Pria asal Surabaya ini sehari-hari bekerja sebagai tenaga proyek.
Baik Beni maupun Budi, tidak pernah menggarap bedug kecil. Menurut Budi, tong-tong berukuran kecil relatif lebih sulit didapat. Mereka malah lebih memilih menggarap bedug berkaki, meski harga bambu melonjak tajam.
"Tahun lalu harga per lonjor Rp 90.000. Sekarang abis BBM naik jadi Rp 150.000," ujar Beni.
Bedug-bedug yang selalu meramaikan momen lebaran dibandrol dengan harga bervariasi. Bedug berukuran kecil dihargai Rp 150.000 - Rp 175.000. Sementara bedug sedang harganya antara Rp 350.000 hingga Rp 400.000. Sementara bedug besar dan berkaki dibandrol dengan harga Rp 575.000 - Rp 600.000. Semuanya berbahan baku kulit kambing.
"Kalau untuk kulit sapi beda harganya, yang besar ini (drum kapasitas 200 liter) dijualnya sampai Rp 900.000," kata Budi.
Dalam memproduksi bedug, Budi dibantu dua orang pekerja, Anton dan Ahmadi. Anton sudah bekerja untuk Budi tiga tahun terakhir, sementara Ahmadi baru satu tahun.
Adapun proses produksinya, mula-mula drum dikosongkan, dibuka bagian alas dan tutup tabung. Sementara itu kulit yang sudah kering direndam kembali supaya tidak kaku, luwes.
"Kalau kambing paling satu jam rendamnya. Kalau kulit sapi lama ini, bisa seharian," lanjut Budi.
Selanjutnya, kulit diletakkan menutupi bagian atas drum. Drum dibor dan kemudian dibaut.
"Susah kalau pakai tali. Nganyam 2-3 jam aja tangan dah pada kram," ujarnya. Budi kini memiliki bengkel las di daerah Parung Panjang.
Beni, produsen yang tak punya bengkel las, mengatakan jasa ngelas satu lempeng pengikat drum tarifnya Rp 5.000.
Para pedagang bedug di Jl Mas Mansyur pernah mengalami masa kejayaan. Pada 2007 permintaan selalu tinggi. Budi bahkan mengaku dalam satu bulan bisa menjual sekitar 600 bedug.
Sementara tahun lalu, ia hanya mampu menjual sekitar 200 bedug. Baik Budi maupun Beni menyadari semakin ketatnya persaingan. Kini lebih dari sepuluh pedagang bedug berjajar di ruas jalan menujiu Tanah Abang tersebut.
Yudi (34), pedagang bedug musiman yang lain, menawarkan bedug-bedug kreasinya sejak 10 tahun silam. Ia meneruskan usaha yang sudah dimulai kakak-kakaknya. Ia mengaku tidak memproduksi sendiri bedug-bedug tersebut.
"Kalau sehari-hari saya jadi cleaning service," kata Yudi.
Sebagai petugas cleaning service alih daya di salah satu perkantoran di kawasan Tanah Abang, Yudi mendapat penghasilan Rp 1,2 juta per bulan. Sama dengan Beni, ia pun tak mau melewatkan moment lebaran untuk mendapatkan pemasukan tambahan.
"Ya, Alhamdulillah-lah. Tahun lalu sebulan bisa habis 40-50 bedug," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.