Di tembok samping rumah Tini (37), misalnya, terlukis ayam jago seukuran satu setengah meter berkokok. Di samping ayam jago itu tertulis nasihat lama orangtua, ”jangan malas bangun pagi!!!” ”Yang menggambar orang Jakarta, sekitar sebulan yang lalu. Mereka melukis sambil berhujan-hujan, sampai pukul 21.00,” kata Tini.
Ia masih mengingat sepuluhan seniman yang datang dan menjelajah kampung halamannya yang kini dikepung perumahan mewah, pusat perbelanjaan, sekolah-sekolah internasional, dan lapangan golf itu. ”Waktu mereka bertanya boleh atau tidak menggambar tembok samping rumah, saya iyakan. Malahan, saya menawarinya untuk melukis di tembok dalam rumah,” kata Tini tertawa.
Tak hanya rumah Tini yang menjadi berwarna gara-gara serbuan para seniman mural di Kampung Babakan. Mereka juga melukisi dinding depan Balai RW dan banyak sudut rumah warga lainnya. Berbeda dengan Toussaint dan Spag yang membuat mural berdasar kata pilihan warga Kampung Bayur, semua mural di Kampung Babakan menjadi ”tembok belajar” yang mengampanyekan pendidikan untuk anak.
Yayasan AgenKultur ada di balik serbuan para seniman ruang publik ke Kampung Babakan. Mereka menggelar Parade Mural Kampung Babakan Mei lalu, diikuti para sukarelawan Jakarta Art Movement (JAM), sebuah gerakan seni aktivisme yang menggagas Kampoong Art Attack. AgenKultur sendiri sebuah lembaga nirlaba yang menjalankan pendidikan informal bagi warga Kampung Babakan, termasuk pendidikan paket A, B, dan C bagi orang putus sekolah.
”Kami telah mendampingi warga Babakan sejak 2007. Kampung ini dikepung banyak sekolah internasional, tetapi ribuan warganya putus sekolah sejak SD dan SMP. Itu mengapa mural Kampoong Art Attack di Babakan kami konsep sebagai ’tembok belajar’. Sejumlah 11 komunitas seni ruang publik merespons ’tembok belajar’ sebagai medium untuk mengajari anak-anak. Ada yang melukis huruf, angka, bentuk, atau kampanye bersekolah,” kata Ketua AgenKultur, FW Pei.
Para perupa ruang publik yang terlibat Parade Mural Kampung Babakan pada Mei lalu merupakan sukarelawan Jakarta Art Movement, sebuah gerakan seni aktivisme yang menggagas Kampoong Art Attack. AgenKultur sendiri merupakan satu dari banyak organisasi, kelompok, ataupun individu yang menjalankan serbuan seni ke kampung-kampung di Jabodetabek itu.
”Sejak Februari lalu kami ikut mengonsep Kampoong Art Attack yang digagas JAM di sejumlah kampung di Jakarta, termasuk di Kampung Tanah Tinggi dan Kampung Rawa di Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, dan Kampung Babakan. Kami terlibat dalam aktivitas Kampoong Art Attack di kampung lain, mereka juga datang ke Babakan,” kata Pei.
Berbeda dengan Toussaint dan Spag yang serba kebetulan, Ketua JAM Bambang Asrini Widjanarko menyebutkan Kampoong Art Attack memiliki sejumlah kriteria untuk memilih kampung yang bakal ”diserbu seni”. Sepanjang 2013, Kampoong Art Attack telah ”menyerbu” Johar Baru, Curug, dan Kampung Bali Mester di Jatinegara.
”Semua kampung itu memiliki permasalahan sosial yang coba kami dekati dengan aktivitas seni. Di Johar Baru, warganya terus terlibat tawuran antarkampung, dengan rantai kekerasan yang panjang dan terwariskan selama tiga generasi. Di Kampung Bali Mester, melukis dihadirkan sebagai terapi bagi orang dengan skizofrenia, sebagian dari kampanye menghentikan diskriminasi dan stigmatisasi terhadap orang dengan skizofrenia,” kata Bambang.
Apakah seni menyerbu kampung untuk menawarkan solusi? Baik JAM maupun Toussaint menjawab tidak. Seni bukan solusi bagi tawuran di Johar Baru, ketimpangan akses pendidikan di Babakan, ataupun banjir di Bayur.
”Sayalah yang sebenarnya belajar dari warga dan warga Kampung Bayur mengajari banyak hal,” ujar Toussaint. ”Kalau apa yang saya kerjakan menginspirasi warga untuk mengekspresikan gagasan mereka dengan mural, itu sangat baik,” kata Toussaint. (
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : )https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.