KOMPAS.com — "Ahok tidak beretika, tidak mengerti partai. Kontribusi dia di Gerindra kecil dan orang akan menilai track record dia, ini bukti orang jadi 'kutu loncat'..." (Kompas.com, Rabu, 10 September 2014).
"Kutu loncat" yang diucapkan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon dalam kutipan tersebut "mencubit" ingatan soal kekerapan penggunaan kiasan itu ketika kita berbicara soal seseorang di dunia politik atau hal lain terkait keterlibatannya dalam suatu tugas atau pekerjaan.
Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, "kutu loncat" sendiri punya dua makna. Yang satu binatang, satu lagi adalah kiasan untuk orang.
Kutu loncat yang binatang berarti hama berwarna oranye kehijau-hijauan, berukuran kecil, dan hidup dengan cara mengisap cairan tanaman yang masih muda. "Kutu loncat" satu lagi berarti kiasan bagi orang yang menggantungkan hidupnya dengan menumpang dari satu orang ke orang lain.
Jika bicara "kutu loncat" yang berarti orang, beberapa waktu lalu pernah juga media massa Indonesia diramaikan oleh catatan mengenai politisi Ruhut Sitompul yang memberi tanggapan ketika ia disebut sebagai bagian dari fenomena "kutu loncat" antar-partai.
"Orang kan realistis, semua punya masa depan dan mereka melihat ya masa depan kita di Demokrat," ujar Ruhut. (Ruhut: "Kutu Loncat'" Justru Realistis, Kompas.com, Kamis, 21 April 2011).
Saat itu, Ruhut dipolakan bahwa ia pasti akan loncat dari satu partai ke partai lain yang diprediksi akan memimpin, mulai dari Golkar, lalu Demokrat, dan terakhir Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Ruhut tidak menyoalkan "kutu loncat", demikian halnya dengan para pembaca yang bisa dilihat melalui komentar-komentar mereka. Oleh karena itu, semua sudah sepakat, bulat. Ruhut dan "kutu loncat" tidak masalah.
Lantas bagaimana dengan Ahok, panggilan untuk Basuki Tjahaja Purnama yang saat ini merupakan Wakil Gubernur DKI Jakarta dan sebentar lagi akan naik tingkat?
Tak ubahnya Ruhut, Ahok pun mengiyakan ketika ia disebut "kutu loncat" dengan alasan bahwa memang ia berpindah-pindah partai, dari Partai Golkar, Partai Perhimpunan Indonesia Baru, lalu Partai Gerindra yang akhirnya pun ditinggalkan. Sepakatkah kita jika Ahok disebut "kutu loncat"?
Lalu, bagaimana jika misalnya Ridwan Kamil, arsitek, dosen, dan aktivis sosial yang menjadi Wali Kota Bandung—dan perlu-perlunya menegaskan untuk tidak mau disebut kader Gerindra atau PKS yang mengusungnya (Baca: Meski Dukung Prabowo-Hatta, Ridwan Kamil Tegaskan Dia Bukan Kader Partai, Kompas.com, Jumat, 30 Mei 2014)—lantas melakukan hal yang sama (sekalipun perlu dipertanyakan kenapa disebut loncat karena toh bukan kader)?
Akankah masyarakat bisa terima jika Ridwan Kamil juga disebut "kutu loncat"?
Beda kutu loncat
Dari kutipan di media massa, terlihat perbedaan antara Ruhut yang menjadi "kutu loncat" karena "kan realistis, semua punya masa depan dan mereka melihat ya masa depan kita di Demokrat" dan Ahok yang menjadi “kutu loncat” karena tidak setuju jika kepala daerah dipilih DPRD mengingat dia sendiri dipilih oleh masyarakat. Ada beda alasan soal kenapa "loncat-meloncat".
Terlebih lagi, penyebutan Ahok sebagai "kutu loncat" ini muncul di tengah catatan ketika Ahok sigap membuka jalur SMS, menanggapinya, dan meneruskan kepada pihak pemerintahan DKI Jakarta yang lalu merealisasikannya, juga obrolan sesantai "lu gue" yang menggetarkan lagu lama pimpinan DKI Jakarta.