Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 30/01/2015, 19:00 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Larangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bagi pengendara sepeda motor masuk ke Jalan MH Thamrin dan Medan Merdeka Barat akhirnya menuai protes. Empat pengendara motor, yakni Wahyudin, Naek Efendi, Bona Ricki Jeferson Siahaan, dan Untung, mengajukan uji materi.

Keempat warga pemakai moda sepeda motor ini mengajukan permohonan uji materi atas kebijakan Pemprov DKI ke Mahkamah Agung. Alasan mereka membawa kasus ini ke ranah hukum adalah kebijakan itu tidak hanya melanggar aturan yang lebih tinggi, tetapi juga menghambat mobilitas warga yang berkantor di sepanjang jalan tersebut.

Padahal, untuk saat ini sepeda motor adalah moda yang paling efektif bermobilitas di tengah lalu lintas Kota Jakarta yang karut-marut. Mereka menilai, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama hanya pro kepada kelompok ekonomi mapan dan bukan kepada kelompok ekonomi sederhana.

Basuki menepis semua anggapan itu. Menurut Basuki, pelarangan itu, selain untuk melindungi jiwa pengendara sepeda motor, juga untuk ketertiban dan manajemen lalu lintas. Basuki ingin mendorong warga berpindah ke angkutan umum dan menekan pemerintah untuk memperbaiki pengelolaan dan cakupan layanan angkutan publik. Bahkan, dirinya berencana memperluas kawasan pembatasan.

Perlu diberi waktu

Lepas dari pro dan kontra kebijakan itu, tidak ada salahnya kebijakan itu dievaluasi kembali. Sepanjang kondisi riil, kebijakan pelarangan sepeda motor dan penyediaan transportasi publik sesuai dengan standar pelayanan minimum belum berjalan pararel.

Sebab, dengan kondisi seperti itu, publik harus menanggung risiko peningkatan biaya transportasi dan waktu tempuh yang makin panjang. Hal itu terjadi karena kurangnya keterpaduan perencanaan, sinkronisasi, dan harmonisasi antara pembangunan (implementasi) dan perencanaan. Kondisi itu diperburuk lagi dengan belum adanya koordinasi antarwilayah sekitar.

Selain itu, yang membuat moda transportasi buruk dan tidak diminati warga adalah kondisinya tidak nyaman dan tidak aman. Para pengguna tak hanya harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar tarif, tetapi juga ”membayar” para preman dan pengamen yang berada di dalam bus atau mikrolet.

Banyak faktor kenapa mereka nekat menerobos larangan dan tak juga mau berpindah ke transportasi publik, antara lain karena tidak pasti, tidak terjadwal waktu kedatangan, dan waktu perjalanannya lama. Bahkan, transportasi publik saat ini, terutama reguler, kondisinya amburadul dan miskin informasi kepada penumpang.

Semua itu terjadi karena tak ada integrasi dari sistem tiket dan jadwal antarmoda. Sementara meminta penataan trayek dan ketertiban angkutan kepada para pemilik dan pengelola sulit karena sistem kepemilikannya pribadi.

Berbagai faktor ini membuktikan sangat tidak adil jika di satu sisi warga dipaksa untuk tertib, tetapi di sisi lain pemerintah abai terhadap kewajibannya menyediakan transportasi publik yang baik, membersihkan jalanan dari kantong parkir liar, dan menilang angkutan umum yang ngetem. Rakyat siap tertib, tetapi pemerintah juga wajib memenuhi janjinya. (Banu Astono)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pedagang Pigura di Bekasi Bakal Jual 1.000 Pasang Foto Prabowo-Gibran

Pedagang Pigura di Bekasi Bakal Jual 1.000 Pasang Foto Prabowo-Gibran

Megapolitan
Ketika Pemprov DKI Seolah Tak Percaya Ada Perkampungan Kumuh Dekat Istana Negara...

Ketika Pemprov DKI Seolah Tak Percaya Ada Perkampungan Kumuh Dekat Istana Negara...

Megapolitan
Pedagang Pigura di Bekasi Patok Harga Foto Prabowo-Gibran mulai Rp 150.000

Pedagang Pigura di Bekasi Patok Harga Foto Prabowo-Gibran mulai Rp 150.000

Megapolitan
Upaya PKS Lanjutkan Hegemoni Kemenangan 5 Periode Berturut-turut pada Pilkada Depok

Upaya PKS Lanjutkan Hegemoni Kemenangan 5 Periode Berturut-turut pada Pilkada Depok

Megapolitan
PKS Bakal Gaet Suara Anak Muda untuk Bisa Menang Lagi pada Pilkada Depok 2024

PKS Bakal Gaet Suara Anak Muda untuk Bisa Menang Lagi pada Pilkada Depok 2024

Megapolitan
Golkar: Elektabilitas Bukan Jadi Indikator Utama untuk Pilih Cagub DKI

Golkar: Elektabilitas Bukan Jadi Indikator Utama untuk Pilih Cagub DKI

Megapolitan
Polisi Periksa 13 Saksi dalam Kasus Anggota Polisi yang Tembak Kepalanya Sendiri

Polisi Periksa 13 Saksi dalam Kasus Anggota Polisi yang Tembak Kepalanya Sendiri

Megapolitan
Nestapa Agus, Tak Dapat Bantuan Pemerintah dan Hanya Andalkan Uang Rp 100.000 untuk Hidup Sebulan

Nestapa Agus, Tak Dapat Bantuan Pemerintah dan Hanya Andalkan Uang Rp 100.000 untuk Hidup Sebulan

Megapolitan
Ogah Bayar Rp 5.000, Preman di Jatinegara Rusak Gerobak Tukang Bubur

Ogah Bayar Rp 5.000, Preman di Jatinegara Rusak Gerobak Tukang Bubur

Megapolitan
Kapolres Jaksel: Brigadir RAT Diduga Bunuh Diri karena Ada Masalah Pribadi

Kapolres Jaksel: Brigadir RAT Diduga Bunuh Diri karena Ada Masalah Pribadi

Megapolitan
Polisi: Mobil Alphard yang Digunakan Brigadir RAT Saat Bunuh Diri Milik Kerabatnya

Polisi: Mobil Alphard yang Digunakan Brigadir RAT Saat Bunuh Diri Milik Kerabatnya

Megapolitan
Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Sabtu 27 April 2024, dan Besok: Siang ini Hujan Ringan

Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Sabtu 27 April 2024, dan Besok: Siang ini Hujan Ringan

Megapolitan
[POPULER JABODETABEK] Warga yang 'Numpang' KTP Jakarta Protes NIK-nya Dinonaktifkan | Polisi Sita Senpi dan Alat Seks dari Pria yang Cekoki Remaja hingga Tewas

[POPULER JABODETABEK] Warga yang "Numpang" KTP Jakarta Protes NIK-nya Dinonaktifkan | Polisi Sita Senpi dan Alat Seks dari Pria yang Cekoki Remaja hingga Tewas

Megapolitan
Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Megapolitan
Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com