Keempat warga pemakai moda sepeda motor ini mengajukan permohonan uji materi atas kebijakan Pemprov DKI ke Mahkamah Agung. Alasan mereka membawa kasus ini ke ranah hukum adalah kebijakan itu tidak hanya melanggar aturan yang lebih tinggi, tetapi juga menghambat mobilitas warga yang berkantor di sepanjang jalan tersebut.
Padahal, untuk saat ini sepeda motor adalah moda yang paling efektif bermobilitas di tengah lalu lintas Kota Jakarta yang karut-marut. Mereka menilai, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama hanya pro kepada kelompok ekonomi mapan dan bukan kepada kelompok ekonomi sederhana.
Basuki menepis semua anggapan itu. Menurut Basuki, pelarangan itu, selain untuk melindungi jiwa pengendara sepeda motor, juga untuk ketertiban dan manajemen lalu lintas. Basuki ingin mendorong warga berpindah ke angkutan umum dan menekan pemerintah untuk memperbaiki pengelolaan dan cakupan layanan angkutan publik. Bahkan, dirinya berencana memperluas kawasan pembatasan.
Perlu diberi waktu
Lepas dari pro dan kontra kebijakan itu, tidak ada salahnya kebijakan itu dievaluasi kembali. Sepanjang kondisi riil, kebijakan pelarangan sepeda motor dan penyediaan transportasi publik sesuai dengan standar pelayanan minimum belum berjalan pararel.
Sebab, dengan kondisi seperti itu, publik harus menanggung risiko peningkatan biaya transportasi dan waktu tempuh yang makin panjang. Hal itu terjadi karena kurangnya keterpaduan perencanaan, sinkronisasi, dan harmonisasi antara pembangunan (implementasi) dan perencanaan. Kondisi itu diperburuk lagi dengan belum adanya koordinasi antarwilayah sekitar.
Selain itu, yang membuat moda transportasi buruk dan tidak diminati warga adalah kondisinya tidak nyaman dan tidak aman. Para pengguna tak hanya harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar tarif, tetapi juga ”membayar” para preman dan pengamen yang berada di dalam bus atau mikrolet.
Banyak faktor kenapa mereka nekat menerobos larangan dan tak juga mau berpindah ke transportasi publik, antara lain karena tidak pasti, tidak terjadwal waktu kedatangan, dan waktu perjalanannya lama. Bahkan, transportasi publik saat ini, terutama reguler, kondisinya amburadul dan miskin informasi kepada penumpang.
Semua itu terjadi karena tak ada integrasi dari sistem tiket dan jadwal antarmoda. Sementara meminta penataan trayek dan ketertiban angkutan kepada para pemilik dan pengelola sulit karena sistem kepemilikannya pribadi.
Berbagai faktor ini membuktikan sangat tidak adil jika di satu sisi warga dipaksa untuk tertib, tetapi di sisi lain pemerintah abai terhadap kewajibannya menyediakan transportasi publik yang baik, membersihkan jalanan dari kantong parkir liar, dan menilang angkutan umum yang ngetem. Rakyat siap tertib, tetapi pemerintah juga wajib memenuhi janjinya. (Banu Astono)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.