"Wah, baru dengar saya," kata Benjamin, di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (4/2/2015). Benjamin menyadari penobatan tersebut bisa saja benar. Sebab, kata dia, pemerintah belum menemukan kebijakan terbaik untuk menekan jumlah peredaran kendaraan pribadi di jalanan.
Belum lagi rasio jalan yang tak sebanding dengan pertambahan jumlah kendaraan. "Intinya pemerintah harus melakukan upaya semaksimal mungkin. Kalau Jakarta punya strategi pola transpotasi, tentu kita akan push sebaik-baiknya," ucap dia.
Sebagai informasi, Castrol’s Magnatec Stop-Start mengukur kemacetan berdasarkan proses berhenti-jalan sebuah kendaraan. Dari penelitian yang mereka lakukan, rata-rata kendaraan di Jakarta melakukan 33.240 kali proses berhenti-jalan per tahunnya. [Baca: Ahok: Untung Tensi Saya Masih Bagus, Kalau Enggak Stroke Saya]
Indeks ini mengacu dari data navigasi pengguna Tom Tom, mesin GPS, dan alat untuk menghitung jumlah berhenti dan jalan kendaraan setiap kilometernya. Jumlah tersebut kemudian dikalikan dengan jarak rata-rata yang ditempuh setiap tahun di 78 negara.
Urutan kota termacet kedua ditempati Istanbul (Turki), disusul Kota Meksiko (Meksiko) di urutan ketiga. Selain Jakarta, kota lainnya di Indonesia yang masuk dalam 10 besar adalah Surabaya yang menempati urutan keempat.
Di bawah Surabaya, berturut-turut menyusul Saint Petersburg (Rusia), Moskwa (Rusia), Roma (Italia), Bangkok (Thailand), Guadalajara (Meksiko), dan Buenos Aires (Argentina).
Sedangkan untuk kota dengan lalu lintas terlancar ditempati Tampere (Finlandia), dan berturut-turut disusul Rotterdam (Belanda), Bratislava (Slovakia), Abu Dhabi (UEA), Brisbane (Australia), Antwerp (Belgia), Porto (Portugal), Brno (Ceko), Kopenhagen (Denmark), dan Kosice (Slovakia).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.