Permasalahan itulah yang menyebabkan BPK hanya mengeluarkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) untuk laporan keuangan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta tahun 2014.
Permasalahan tersebut dibacakan oleh anggota V BPK, Moermahadi Soerdja Djanegara, dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi DKI Jakarta perihal penyampaian laporan hasil pemeriksaan BPK, di Gedung DPRD DKI, Senin (6/7/2015).
Berikut beberapa poin yang menjadi dasar bagi BPK mengeluarkan opini WDP untuk DKI Jakarta:
• Saldo piutang pajak bumi dan bangunan—pedesaan dan perkotaan—tidak dapat ditelusuri, dan koreksi pencatatan yang dilakukan Pemprov DKI tidak didukung dokumen sumber.
• Saldo piutang pajak kendaraan bermotor senilai Rp 20,14 miliar tidak didukung data wajib pajak, jenis kendaraan, nilai jual kendaraan bermotor, dan masa pajak terutang yang lengkap dan akurat.
• Rekomendasi BPK pada temuan pemeriksaan atas laporan keuangan tahun-tahun sebelumnya terkait aset yang bersifat tetap belum ditindaklanjuti secara memadai oleh Pemprov DKI.
Oleh karena itu, BPK masih menemukan permasalahan signifikan pada sistem informasi pengelolaan aset tetap yang belum dapat menyajikan data rincian aset tetap untuk mendukung pencatatan sesuai standar akuntansi pemerintah atas saldo awal ataupun mutasi aset tetap tahun 2014.
• Penghapusan aset tetap senilai Rp 168,01 miliar tidak berdasarkan usulan penghapusan dari SKPD pengguna barang dan SK penghapusan dari gubernur. Perbedaan data nilai penghapusan aset yang dihapuskan di BPKD dan koreksi pencatatan atas saldo aset yang dihapuskan tidak dapat ditelusuri.
• Pengendalian pencatatan dan pengamanan aset lainnya—kemitraan dengan pihak ketiga senilai Rp 3,58 triliun—kurang memadai sehingga BPK tidak dapat meyakini kewajaran pencatatannya dan berisiko terhadap keamanan aset milik Pemprov DKI Jakarta.
• Rekomendasi BPK pada temuan pemeriksaan atas laporan keuangan tahun anggaran 2013 agar Pemprov DKI menerapkan mekanisme penggunaan uang persediaan dengan menggunakan sistem revolving fund belum dilaksanakan sehingga BPK masih menemukan pencatatan belanja pada 15 SKPD senilai Rp 268,87 miliar tidak didukung dengan bukti pertanggungjawaban.
• Pencatatan realisasi biaya operasional pendidikan berupa belanja pegawai senilai Rp 249,10 miliar dan belanja barang jasa senilai Rp 1,27 triliun hanya berdasar data jumlah dana yang ditransfer ke sekolah, bukan berdasar bukti pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan di sekolah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.