Basis pertahanan negara di tiga wilayah itu sudah porak poranda dihancurkan Belanda. Tidak ada lagi kekuatan militer di kawasan Bekasi saat itu.
Kemudian, Noer Ali maju sebagai seorang putra daerah yang memperjuangkan kedaulatan daerah kelahirannya.
Noer Ali pun berangkat ke Yogyakarta untuk menemui Jenderal Sudirman. Tujuannya adalah meminta saran atas permasalahan di Bekasi dan Karawang.
Sepulang dari Yogyakarta, dia pun membuat basis perlawanan masyarakat tanpa mengenakan embel-embel dan seragam TNI. (Baca: "Memang Margonda Nama Orang?")
Kelompok perlawanan masyarakat itu dia namakan Hizbullah Sabilillah Jakarta Raya.
"Kenapa tidak pakai seragam TNI? Karena kalau ketahuan Belanda, pasti langsung dilibas. Jadi ini istilahnya kekuatan rakyatlah," ujar Ali.
Selama hidupnya, menurut dia, Noer Ali juga pernah menjadi koordinator Jatinegara, jabatan setingkat bupati pada waktu itu. Dulu, Jatinegara masih termasuk wilayah Bekasi.
"Dia juga bersama temannya membuat badan kerja sama antara ulama dan militer di tahun 1958. Setelah G30S, Noer Ali bikin Majelis Ulama Jawa Barat. Waktu itu belum ada MUI, jadi cikal bakal MUI itu ya di Jawa Barat oleh KH Noer Ali," tutur Ali.
Dikenal sebagai Singa Karawang
Adapun Noer Ali lahir dan wafat di Bekasi. Jejak nilai dan perjuangannya kini bisa dilihat di Pesantren Ataqwa.
Pesantren itu dibangun Noer Ali di dekat kediamannya dulu, di Ujung Malang yang kini bernama Ujung Harapan. (Baca: Peristiwa Lengkong, Gugurnya Mayor Daan Mogot)
Pesantren tersebut kini dikelola oleh anak Noer Ali yang bernama KH Amien Noer.
Sampai saat ini, Noer Ali dikenal dengan banyak julukan, di antaranya Singa Karawang Bekasi dan Belut Karawang Bekasi.
Dijuluki sebagai belut karena dia sangat "licin" dan tidak mudah ditangkap Belanda. Nama Noer Ali kini diabadikan sebagai nama jalan di Bekasi.
Sayangnya, Jalan KH Noer Ali lebih dikenal dengan sebutan Jalan Kalimalang. (Baca: Ingat Kalimalang? Ingat Pula K.H. Noer Ali, Pahlawan yang Terlambat Diabadikan Namanya.. )