Kemudian, tembakau itu dijemur dan baru dipasarkan setelah kering. "Dari segi penelitian, kami dapat merespons temuan-temuan narkoba jenis baru di lapangan. Namun, untuk menindak, kami masih terhambat regulasi," katanya.
Dari 38 jenis zat psikoaktif yang baru ditemukan beredar di Indonesia, baru 18 jenis yang dicatat dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 13 Tahun 2014.
Adapun 20 jenis lainnya belum dimasukkan ke dalam peraturan tersebut. Akibatnya, BNN belum bisa menangkap pengedar tembakau Gorilla.
Pasalnya, BNN bertindak sesuai Undang-Undang Narkotika (UU No 35/2009), dengan mengacu pada permenkes.
Menurut Slamet, hanya polisi yang bisa menindak para pengedar tembakau itu dengan menggunakan dasar UU No 36/2009 tentang Kesehatan.
"Meskipun bisa ditindak, sanksi hukumnya masih sangat ringan dibandingkan dengan Undang-Undang Narkotika yang bisa mencapai hukuman seumur hidup dan hukuman mati," tutur Slamet.
Slamet mengungkapkan, efek mengonsumsi tembakau Gorilla ini sama dengan mengonsumsi ganja, yakni halusinogen.
Dampak dari halusinogen adalah melihat warna acak dan melihat sesuatu yang tak ada seolah nyata.
"Halusinogen ini menimbulkan halusinasi yang bersifat mengubah perasaan, pikiran, dan dapat menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga menyebabkan seluruh perasaan dapat terganggu," ungkap Slamet. (MDN)
----
Artikel ini sebelumnya ditayangkan di harian Kompas edisi Senin, 22 Februari 2016, dengan judul "Si Gorilla Positif Ganja Sintesis"