Kedua, amplifikasi kejahatan di media massa dapat berdampak pada munculnya ketakutan akan kejahatan (fear of crime). Di satu sisi, fear of crime dapat bermakna rasional ketika ketakutan akan membentuk kewaspadaan.
Namun di sisi lain, ketakutan merupakan respon yang tidak beralasan, dan ini terbentuk dari pemberitaan yang tidak proporsional dari media massa. Secara statistik rendah, namun karena diberitakan berulang-ulang dengan ‘frame’ yang dramatis, seperti “Begal Makin Mengancam”, publik menjadi irrasional.
Saya menduga, penghakiman massa yang dilakukan oleh masyarakat terhadap anggota begal yang tertangkap disebabkan oleh fear of crime ini.
Saya sendiri cukup sering dihubungi oleh kawan-kawan reporter dan dimintai pendapat sebagai kriminolog. Pertanyaan yang kadang disampaikan kawan-kawan adalah “mengapa fenomena ini kembali meningkat?”.
Pertanyaan tersebut sudah merupakan sebuah ‘framing’, padahal berdasarkan data tidak bisa dikatakan meningkat. Dalam konteks pembunuhan, ‘frame’ “semakin meningkat” sering ditanyakan bila dalam waktu yang tidak terlalu jauh terjadi beberapa pembunuhan.
Ketiga, media dapat mendramatisasi kejahatan menjadi sesuatu layaknya sinetron atau telenovela. Kasus Mirna dalam pandangan saya sedang berhadapan dengan dampak yang ketiga ini, dengan berbagai spekulasi yang muncul di seputaran kasus ini.
Bila mengacu pada tulisan Lizzie Seal, Women, Murder and Femininity: gender representations of women who kill (2010), pembunuhan yang dilakukan seorang perempuan dinilai lebih mengganggu atau menggelisahkan.
Hal ini tidak dapat dilepaskan dari budaya masyarakat yang patriarkis. Menurutnya, kekerasan adalah atribut bagi maskulinitas sehingga pembunuhan yang dilakukan oleh seorang perempuan melanggar norma femininitas seperti lebih bersifat mengasuh, lembut, dan patuh.
Perempuan yang membunuh, dalam cara pandang patriarkis, merusak pembedaan gender antara maskulinitas dan femininitas yang telah dibentuk budaya.
Pemahaman yang kurang terhadap realitas suatu kasus pembunuhan membuat media sering terjebat pada aspek dramatisnya. Dalam konteks koran, tulisan dari Moira Peelo, et.al (2004) menjelaskan, media tidak dirancang untuk menghasilkan pesan yang jelas mengenai pembunuhan.
Peran media tidak mendidik atau memberikan informasi secara akurat, namun lebih untuk menjual korannya agar laku. Hal ini menjelaskan mengapa memberitakan pembunuhan, berikut dramanya, adalah sesuatu yang sangat menjual.
Sementara di lain pihak media merupakan kontributor yang kuat terhadap pengetahuan dan kesadaran publik mengenai kejahatan. Dapat dibayangkan, kemungkinan terjadinya pemahaman yang salah tentang apa sebenarnya pembunuhan itu dari sisi keilmuan (baik psikologi maupun kriminologis).
Masih mengenai dramatisasi pembunuhan, Lizzie Seal, menambahkan ‘melodrama’ adalah frame pilihan media dalam membentuk cerita, yang cenderung memainkan emosi. Pemberitaan justru mengajak publik untuk larut dalam amarah atau kebencian. Hal mana menjadi masalah bila ternyata yang dituduh membunuh bukan pelaku sebenarnya.
Selain itu, ‘the gothic genre’ juga sering menjadi pilihan, ketika pembunuh akan dicirikan sebagai monster. Frame ini cenderung digunakan untuk perempuan yang membunuh, karena dianggap melawan sifat femininitas yang dikonstruksi oleh budaya.
Rasanya bila ditanyakan kepada redaksi media, tentu akan membantah pernyataan di atas, meskipun saya kira tidak untuk seluruhnya.