JAKARTA, KOMPAS.com — Seorang ibu berusia 84 tahun, Kentjana Sutjiawan, Kamis (7/6/2016), akhirnya mendapatkan tanahnya di Penjaringan, Jakarta Utara, setelah Mahkamah Agung memenangkan gugatannya atas kedua anak kandungnya yang ingin merebut tanah seluas 5.200 meter.
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara melakukan eksekusi guna menindaklanjuti putusan peninjauan kembali (PK) yang turun pada 2015.
Kuasa hukum Kentjana, Dedy Haryadi, menyatakan, pelaksanaan eksekusi berjalan lancar dan pihak termohon menerima putusan PK tersebut.
"Pemilik gedung menyerahkan secara sukarela," kata Dedy.
Dedy menyebutkan, kedua anak Kentjana itu ingin menguasai tanah itu untuk jaminan kredit, tetapi Kentjana tidak mau memberikannya karena tanah itu merupakan tanah anak-anaknya yang lain.
Anak sulungnya, Edhi, mengajukan gugatan ke PTUN dan PN Jakarta Utara pada 2011. Namun, pengadilan tingkat pertama itu mengabulkan gugatan Edhi dengan membatalkan putusan Kakanwil BPN mengenai kepemilikan sertifikat tersebut.
"Hingga di tingkat peninjauan kembali, MA memenangkan Kentjana dan dia pemilik sah dari tanah itu," katanya.
"Saya benar-benar senang setelah berjuang 10 tahun, saya dapat kembali tanah milik saya sendiri," kata Kentjana Sutjiawan (84) sambil terisak-isak setelah jatuh bangun, bahkan sempat dipenjara gara-gara dua anak kandungnya ingin menguasai tanahnya seluas 5.200 meter di Jalan Gedong Panjang Nomor 47, Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara.
Kedua anak kandungnya ialah Edhi Sudjono Muliadi (anak pertama) dan Suwito Muliadi (anak kelima).
"Saya datang ke sini ingin melihat tanah milik saya. Ini bukan tanah warisan, melainkan tanah milik saya yang telah dibeli sejak 1975," katanya sambil duduk di atas kursi roda.
Dia mengatakan terpaksa harus melawan kedua anaknya itu gara-gara mereka ingin menguasai tanah dan tanpa seizinnya membangun Rumah Duka Heaven.
Sempat ditahan
Dia sempat ditahan akibat tuduhan penggelapan dan pemalsuan surat sertifikat tanah yang pada akhirnya Pengadilan Negeri Jakut membebaskannya karena tuduhan itu tidak terbukti.
"Suwito bilang sertifikat Mama hilang, yang ada itu sertifikat milik saya kata Suwito. Kok punya anak seperti begini," kata Kentjana sembari menahan tangis.
Kedua anaknya mengaku bahwa tanah itu merupakan tanah warisan dari ayahnya yang meninggal pada 1971.
"Bagaimana itu tanah warisan, saya membeli tanah pada 1975 setelah suami saya meninggal. Jadi, ini bukan tanah warisan," katanya.
Diusir anak
Upaya memidanakan ibu kandungnya itu oleh kedua anaknya tidak berhenti di sana, juga berusaha mengusir ibunya ke China. Mereka mengadukan sang ibu telah memalsukan dokumen kependudukan.
Akibatnya, paspor Republik Indonesia Kentjana Sutjiawan dicabut. Dia terancam diusir dari tanah airnya sendiri.
Edhi dan Suwito melapor ke Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM jika ibunya bukan warga negara Indonesia. Padahal, Kentjana mengantongi bukti kewarganegaraan Indonesia bernomor 527908/AL tanggal 16 Maret 1962, surat pernyataan ganti nama nomor 144965/GN/DB/1968 tanggal 8 Januari 1968, KTP atas nama Kentjana oleh Pemkot Jakarta Barat, paspor atas nama Kentjana tanggal 29 Mei 1975, dan sudah diperpanjang serta bukti-bukti lainnya.
"Saya hanya bisa berdoa kepada Tuhan saja, akhirnya doa saya terkabul. Mereka itu anak kandung saya. Saya yang melahirkan dan membesarkannya, tetapi jadi seperti ini," katanya.
Anak ketiga Kentjana, Tjendana Muliadi, menyatakan sedih melihat nasib ibundanya itu yang sudah tua. "Seharusnya ibu saya menikmati masa tua, tetapi harus menghadapi kenyataan ini. Sekarang saya senang melihat ibu bahagia," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.