Bagaimana tidak diterima wong bagi partai politik lebih baik mendorong kader partainya sendiri daripada mengusung kader dari partai lain, bukan? Logika yang sangat sederhana dan tidak perlu analisis berbelit-belit.
Keanehan ketiga, baru kali inilah para bakal calon gubernur DKI Jakarta yang pernah muncul, setidak-tidaknya diramaikan media massa, bukan fokus bicara program terbaik apa yang ditawarkan untuk kebaikan Kota Jakarta, tetapi bersatu-padu merapatkan barisan menyatukan kekuatan untuk melawan Ahok.
Upaya main keroyok dengan menggalang kekuatan partai politik inilah yang sebenarnya mengesankan Ahok sebagai calon tangguh, kuat dan sulit dikalahkan. Padahal, belum tentu juga. Main keroyok tak ubahnya tawuran anak-anak SMA yang justru mengesankan ketidakberanian melawan Ahok sendirian alias “head to head”.
Keanehan keempat, kalau itu mau disebut sebagai sebuah keanehan, adalah sikap seorang pemimpin organisasi massa Islam yang jauh-jauh hari tidak mengakui Ahok sebagai gubernur DKI. Sikap menihilkan Ahok ini ditunjukkan dengan cara mengangkat “Gubernur DKI” versinya sendiri. Sebutlah gubernur tandingan.
Anehnya, dalam orasi-orasi di depan Gedung KPK atau tempat lain, sang pemimpin organisasi itu berkali-kali meminta Ahok turun sebagai Gubernur DKI. Lha, bukannya menurut versinya itu Ahok sudah bukan gubernur DKI dan sudah memilih gubernur versinya sendiri?
Tetapi, mengapa masih mengakui Ahok sebagai gubernur dan masih harus diturunkan pula? “Gubernur tandingan”-nya dikemanakan?
Keanehan kelima lagi-lagi bersumber dari Ahok sendiri yang memilih tidak populer di mata warga Jakarta dengan terus melakukan penggusuran warga yang konon menduduki lahan negara. Lahan yang diklaim pemerintah sebagai bukan hak warga.