JAKARTA, KOMPAS.com — Kebijakan pembatasan kendaraan dengan pengaturan pelat nomor genap dan ganjil dinilai tidak lebih baik dibandingkan dengan kebijakan tiga penumpang per kendaraan.
Selain belum memiliki payung hukum, efektivitas pengaturan pelat nomor genap ganjil untuk mengurangi kemacetan masih diragukan. Di sisi lain, pengawasan pelaksanaan dan penegakan hukumnya berat.
Wacana pembatasan kendaraan dengan pengaturan pelat nomor genap ganjil ini disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama beberapa waktu lalu.
Gubernur mewacanakan kebijakan ini sebagai kebijakan transisi pasca penghapusan kebijakan minimal tiga penumpang per kendaraan (3 in 1) mulai Senin (16/5) dan sebelum pelaksanaan jalan berbayar (electronic road pricing/ERP) yang ditargetkan terealisasi tahun 2017.
Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) Ellen Tangkudung, Selasa (17/5), menyatakan, pengawasan kebijakan pelat nomor genap ganjil dilakukan secara manual sehingga butuh petugas dalam jumlah besar.
Penegakan hukumnya juga tak kalah rumit karena petugas harus mencocokkan pelat nomor dengan surat tanda nomor kendaraan (STNK).
Selain itu, kebijakan genap ganjil berpotensi "disiasati" oleh pengguna kendaraan pribadi dengan membuat dua pelat nomor sekaligus untuk mengelabui petugas.
"Polisi akan bekerja sangat berat untuk mengawasi kendaraan. Saya ragu kebijakan itu efektif mengurangi kemacetan," ujarnya.
Program genap ganjil telah diwacanakan sejak beberapa tahun lalu. Namun, rencana penerapannya menuai pro dan kontra.
Penegakan hukum di lapangan juga dinilai tidak mudah. Pemeriksaan dengan menghentikan kendaraan di jalan berpotensi memicu kemacetan.
Menurut Ellen, ketimbang mewacanakan kebijakan baru yang butuh proses administrasi dan memakan waktu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lebih baik meneruskan 3 in 1.
Warga Jakarta sudah paham teknis pelaksanaannya meski dianggap tak efektif mengatasi kemacetan.
"Jika problemnya karena keberadaan joki, pemerintah bisa mengatasinya dengan memperketat pengawasan, bukan menghapuskannya. Selain meneruskan 3 in 1, pemerintah juga harus mempercepat pelaksanaan ERP, kebijakan yang lebih ideal untuk membatasi kendaraan," kata Ellen.
Direktur Eksekutif Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Deddy Herlambang menambahkan, ERP ideal untuk membatasi kendaraan pribadi di jalan raya.
Selain mengendalikan volume kendaraan, ERP juga menghasilkan uang untuk membangun infrastruktur atau memperkuat transportasi publik. Cara serupa ditempuh pemerintah kota besar di sejumlah negara maju.
Menurut Deddy, masa transisi antara penghapusan 3 in 1 dan penerapan ERP yang satu tahun terlalu lama.
Ketimbang memaksakan kebijakan baru yang masih pro-kontra, Pemprov DKI Jakarta lebih baik mengatasi hambatan pelaksanaan ERP.
Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta Andri Yansyah mengatakan, penerapan kebijakan genap ganjil masih wacana dan akan dikaji lagi penerapannya.
Namun, terkait dengan 3 in 1, Pemprov DKI Jakarta bulat menghapuskannya karena berdasarkan uji coba dan evaluasi, kebijakan itu dianggap tidak efektif mengurangi kemacetan.
Selain mewacanakan genap ganjil, kata Andri, pihaknya juga mengupayakan pelaksanaan ERP. "Kewenangannya sudah dilimpahkan dari Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah ke Dinas Perhubungan (DKI Jakarta). Kami sedang menyiapkannya," kata Andri. (MKN)
----
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Mei 2016, di halaman 28 dengan judul "Genap Ganjil Tak Lebih Baik".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.