Ada rasa frustrasi pada sebagian warga Jakarta akan semrawutnya kehidupan di kota ini. Sosok Jokowi yang dipandang sukses saat memimpin Solo menjadi ruang harapan baru akan Jakarta yang lebih baik.
Di era Basuki saat ini, kinerja apa yang bisa dipersoalkan dan mengubah pilihan voters?
Macet? Makin ke sini kita mahfum mengatasi macet bukan persoalan sehari dua hari. Problem utama adalah buruknya sistem transportasi yang membuat masyarakat Jakarta lebih senang menggunakan kendaraan pribadi ketimbang kendaraan umum.
Di eranya, Ahok menambah ratusan bus Transjakarta. Rute-rute baru juga ditambah. Ahok mengatakan, rute Transjakarta harus ada di setiap rute transportasi umum yang ada saat ini.
Untuk mengatasi macet, Pemprov DKI Jakarta juga tengah mempersiapkan sistem jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP). Mass Rapit Transportation (MRT) dan Light Rapit Transportation juga tengah dibangun.
Banjir? Normalisasi sungai berjalan. Yang paling dramatis, dengan segala protes atas kebijakannya, Ahok berhasil melakukan penataan atas Kampung Pulo di Kampung Melayu, Jakarta Timur, yang bertahun-tahun menjadi langanan banjir. Tak ada lagi cerita tentang banjir di tempat itu.
Seiring dengan itu, pasukan oranye bentukan Pemprov DKI Jakarta juga menunjukkan kinerja yang menuai apresiasi. Sungai-sungai dibersihkan. Mereka sigap menanggapi laporan warga.
Penggusuran? Ahok menerapkan model baru melanjutkan apa yang dilakukan Jokowi yaitu merelokasi warga ke rumah susun. Kawasan yang digusur kemudian terlihat ditata menjadi lebih baik.
Di tempat baru, sejumlah fasilitas diberikan cuma-cuma. Kebijakan ini, suka tidak suka, meski ada yang mengkritik keras, jauh lebih baik ketimbang era Sutiyoso yang menggusur tanpa memberi solusi tempat baru bagi warga tergusur.
Soal program, sejauh ini pun belum ada pertarungan wacana mengenai rencana membangun Jakarta yang lebih baik. Perjalanan masih panjang. Para calon masih disibukkan mencari kendaraan politik untuk maju dalam pilkada.
Personal
Kedua, menohok sisi personal lawan yang dianggap sebagai kelemahan atau kekurangan. Ini juga jurus klasik yang selalu diterapkan dalam setiap pilkada.
Strategi jenis ini harus pintar-pintar dimainkan. Bisa berhasil, bisa juga malah gagal total. Takaran kampanyenya harus pas, jangan sampai berlebihan agar menghasilkan efek yang maksimal. Isu yang biasanya dimainkan adalah soal rekam jejak, kelemahan personal, tak jarang melebar ke isu SARA.
Pengalaman di Jakarta, isu SARA tak laku jadi bahan dagangan. Di pilkada DKI Jakarta 2012, Rhoma Irama di-bully habis-habisan di media sosial ketika menyerukan memilih pemimpin seagama.
Masih di tahun yang sama, Nahcrowi Ramli juga menuai kritik keras saat melontarkan kalimat “haiyaaa Ahook” dalam debat calon wakil gubernur yang disiarkan sejumlah stasiun televisi. Simpati publik atas pasangan Foke-Nachrowi merosot setelah insiden itu.