Soal sasaran personal, Ahok memiliki sejumlah catatan yang kerap dijadikan “gorengan” untuk menyerang dirinya. Mempersoalkan identitas Ahok sebagai non-Muslim dan Tionghoa jelas tidak laku di Jakarta.
Yang masih kerap dimainkan untuk menurunkan kredibilitasnya adalah karakternya yang meledak-meledak, temperamental, kata-katanya yang dinilai tidak santun.
Bisa jadi sebagian warga Jakarta gerah dengan karakter ini. Tapi, banyak juga yang tidak mempersoalkannya. Terbukti, elektabilitas Ahok tinggi.
Bagi sebagian orang, “kegalakan” Ahok adalah bagian dari perjuangannya membereskan aneka persoalan di Jakarta. “Kegalakan” atau malah “ketidaksantunan” bisa jadi juga dianggap mereprensentasikan kekesalan mereka atas praktik politik dan birokrasi yang ruwet di Jakarta selama ini.
Setidaknya, sejauh ini kita melihat “keburukan” personal Ahok dalam rupa SARA dan karakter personalnya tidak mempan menjadi peluru jitu menghancurkan kredibilitasnya.
Penyimpangan hukum
Masih adakah peluru lain yang bisa dimainkan? Ada. Yang ketiga adalah mencari celah persoalan hukum.
Ahok selama ini mem-branding dirinya sebagai politisi jujur dan bersih. Jauh dari korupsi. Ia transparan mengungkap asal muasal hartanya. Rasanya, ia satu-satunya politisi di Indonesia yang berani dan siap melakukan pembuktian terbalik soal asal-usul kekayaannya.
Ia juga memposisikan diri sebagai politisi yang melawan dengan keras politik transaksional yang acap terjadi dalam tubuh partai politik. Ia tak gentar keluar dari Gerindra dan bebas merdeka sebagai politisi independen.
Ingat, Ahok adalah peraih penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award 2013 untuk kategori pimpinan daerah. Ia dinilai sebagai figur yang bersih dan transparan sejak menjadi anggota DPRD Belitung, Bupati Belitung, anggota DPR RI, dan saat menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Ketika publik muak dengan sepak terjang partai politik dan praktik korupsi para politisi, Ahok menghadirkan diri sebagai sosok politisi harapan publik. Tak heran jika 1 juta KTP dukungan untuk maju melalui jalur independen berhasil diraihnya.
Branding sebagai politisi bersih adalah kekuataannya yang paling paripurna. Persis di titik itulah ia diuji kini. Kasus reklamasi, pembelian lahan RS Sumber Waras, dan tuduhan aliran dana pegembang ke "Teman Ahok" adalah ujian itu.
Ahok lovers pasti geram. Sementara, haters bersukacita. Kampanye negatif adalah hal yang lumrah dalam demokrasi. Jika dimaknai secara benar, kampanye negatif justru menyehatkan. Ia mempersoalkan apa yang selayaknya perlu dibenahi.
Yang harus diwaspadai adalah kampanye hitam. Jika kampanye negatif mengangkat persoalan-persoalan nyata, kampanye hitam berisi fitnah dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Keduanya punya tujuan sama: menggerus kredibilitas lawan.
Apakah sejumlah tudingan yang kini terarah pada Ahok merupakan kampanye hitam atau negatif? Ahok dan tim dituntut menari dengan cantik dalam gendang yang sedang ditabuh lawan.