JAKARTA, KOMPAS.com - Selama menjadi saksi dalam sidang Ariesman Widjaja, yang merupakan mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, dua pimpinan DPRD DKI terus ditanya jaksa mengenai rekaman percakapan telepon yang terdengar mirip dengan suara dua pimpinan DPRD tersebut.
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi dan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik pun sibuk menjelaskan makna di balik rekaman-rekaman percakapan itu di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar Raya, Rabu (20/7/2016)
Rekaman pertama yang diperdengarkan adalah ketika Taufik menegaskan bahwa perdebatan tentang kontribusi tambahan sebesar 15 persen dalam raperda soal reklamasi di Teluk Jakarta sudah berakhir pada 22 Februari 2016.
(Baca juga: M Taufik Mengaku Diajak Ketua DPRD DKI ke Rumah Bos Agung Sedayu )
Ketika itu, menurut dia, sudah disepakati bahwa kontribusi tambahan diatur dalam pergub karena merupakan diskresi Gubernur DKI Jakarta.
Keterangan Taufik itu dikonfrontasi jaksa dengan rekaman pembicaraan antara anggota DPRD DKI Mohamad Sanusi dan Taufik pada Maret 2016.
"Kemarin kan ke Mangga Dua, jadi rupanya Mangga Dua itu dengan tambahan pasti akan kena juga, takutnya Gubernur agak melintir. Kemarin sama Podo sama Ariesman juga, dia bilang gini, gua beli 25 lagi, dia mau kasih 25, tapi ditambahannya juga dimasukin yang konversi itu. Tapi tetap di penjelasannya itu diatur di pergub, tapi dimasukin dikonversi dari 5 persen itu," demikian bunyi rekaman tersebut.
Rekaman tersebut seolah membantah pernyataan Taufik yang menyebut tidak ada pembicaraan mengenai kontribusi tambahan lagi setelah 22 Februari.
Setelah mendengar rekaman itu, Taufik menegaskan bahwa ia tidak menanggapi ucapan Sanusi.
"Pak, di sana saya enggak menanggapi serius loh," kata Taufik kepada jaksa.
Menurut Taufik, ucapan Sanusi, yang merupakan adiknya itu, sebatas usulan. Taufik mengatakan, apa pun usulannya, ia tetap berpegangan pada kesepakatan rapat 22 Februari 2016.
Oleh karena itu, kata dia, usulan yang disampaikan Sanusi tersebut tidak bisa ditindaklanjuti.
Order pasal
Jaksa juga memutar rekaman percakapan telepon antara Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi dan Wakil Ketua DPRD DKI Mohamad Taufik.
Dalam rekaman tersebut, Prasetio terdengar bertanya soal pasal dalam raperda reklamasi di Teluk Jakarta.
Berdasarkan rekaman, Prasetio menanyakan apakah pasal yang diordernya sudah beres semua atau belum.
"Pada menit ke 00.52, Pak Prasetio bilang, 'Apa pasal yang diorder sudah beres semua?'. Apa maksud dari itu?" tanya jaksa penunut umum (JPU) kepada Taufik.
(Baca juga: Jaksa Perdengarkan Rekaman Prasetio "Order" Pasal kepada Taufik)
Taufik pun mengklarifikasi isi rekaman tersebut dengan mengatakan bahwa sebelum percakapan itu, Prasetio pernah menyampaikan kepadanya mengenai kebijakan di fraksinya terkait reklamasi.
"Pak Pras pernah sampaikan ke saya kebijakan di fraksinya, soal izin reklamasi enggak boleh ada di raperda. Izin reklamasi enggak boleh tercantum di raperda tata ruang. Saya bilang, oke beres, Pak," kata Taufik.
Jaksa juga menanyakan hal tersebut kepada Prasetio. Dalam persidangan, Prasetio membenarkan ucapan Taufik bahwa pasal orderan yang dimaksud adalah soal izin reklamasi yang tidak boleh masuk dalam raperda.
"Dalam rapat fraksi, kami enggak mengatur soal izin reklamasi. Saya ngomong itu sebelum teleponan dengan Pak Taufik," kata Prasetio.
"Tapi, memang bahasa saya ya, saya suka bercanda dengan yang lain. Mungkin bahasa saya (yang salah)," tambah Prasetio.
Bahas NJOP dengan pengembang
Rekaman percakapan telepon juga mengungkapkan indikasi bahwa Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi bersama-sama dengan Ketua Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik mengatur besaran nilai jual obyek pajak (NJOP) di pulau reklamasi, sesuai dengan keinginan Chairman Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma alias Aguan.
Dalam percakapan itu, Prasetio sedang bersama dengan Aguan. Saat menghubungi Taufik, Prasetio kemudian menyerahkan teleponnya kepada Aguan.
Kepada Taufik, Aguan meminta agar NJOP ditentukan sebesar Rp 3 juta. Aguan mengatakan "titip baik ya" kepada Taufik.
Hal ini langsung dijelaskan oleh Taufik di ruang sidang. "Pak Aguan usul NJOP Rp 3-10 juta, tapi saya tidak menanggapi karena perda tidak mengatur NJOP," ujar Taufik saat dikonfirmasi oleh jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
(Baca juga: Dalam Pertemuan di Rumah Aguan, Taufik Lihat Sanusi Berbicara dengan Ariesman)
Meski membantah mengakomodasi permintaan Aguan, dalam pembicaraan melalui telepon, Taufik menyatakan kesiapannya untuk memenuhi permintaan Aguan.
Saat dikonfirmasi jaksa soal itu, Taufik mengaku hanya menghormati saja. "Saya hanya mendengarkan saja, untuk penghormatan saja," kata Taufik.
Prasetio yang juga dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan tersebut menjelaskan alasan ia meminta Taufik memenuhi keinginan Aguan.
Menurut Prasetio, Aguan sering memberi masukan terkait reklamasi, termasuk dalam pembahasan terkait rancangan peraturan daerah tentang reklamasi.
Prasetio mengaku tidak tahu teknis pembahasan raperda ini sehingga dia menelepon Taufik dan menyerahkan telepon kepada Aguan.
Dengan demikian, menurut dia, Aguan bisa menyampaikan langsung teknisnya kepada Taufik melalui telepon.
"Saya tidak tahu, makanya saya kasih saja ke Pak Taufik. Saya tidak mengerti teknisnya," kata Prasetio.
(Baca juga: Rekaman Ungkap Prasetio dan M Taufik Tunduk pada Permintaan Bos Agung Sedayu)