Latar belakang itu membuat Suranda memiliki insting menilai kemampuan anak-anak, memilih serta melatihnya.
”Anak-anak dari sejumlah wilayah relokasi itu berkemampuan rata-rata sama. Itu memudahkan saya. Kesamaan lain, mereka kurang disiplin. Di situ saya harus bisa tegas menghadapi dan melatih mereka,” ujarnya.
Jestin, pemain mungil yang biasa dipanggil Tintin oleh keluarganya, mengatakan, latihan di jalan aspal itu melelahkan. ”Badan pegal, kaki berdarah, sepatu jebol,” ujar siswa kelas II SMP itu.
Namun ia tetap berlatih. ”Kawan-kawan menyemangati saya,” ujar Tintin yang bertekad masuk tim nasional itu.
Kondisi yang memprihatinkan namun penuh semangat itu menarik perhatian sebuah sekolah internasional di Jakarta. Apabila pada 2015 sekolah itu membantu sepatu bagi tim, untuk kompetisi 2016, sekolah itu memberi izin bagi tim untuk berlatih di lapangan sekolah.
”Menjelang lomba, tiap hari Minggu pagi, (kami) dijemput, lalu latihan di sana. Saat lomba, bus dari sekolah menjemput kami,” ujar Awaludin, ofisial tim.
Disiplin dalam berlatih, meski terbatas, membawa tim Rusun Daan Mogot kembali menjuarai Jakarta Rusun Festival 2016, yang digelar Pemprov DKI Jakarta sejak 2015.
”Dengan kompetisi ini, kami ingin mengajak warga di 22 rusun di Jakarta untuk juga mengembangkan bakat dan talenta. Apalagi, mungkin masih ada trauma yang tersisa karena relokasi,” ujar Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemda DKI Jakarta Arifin.
Warga Rusun Daan Mogot juga bangga dengan prestasi yang diraih anak-anak mereka. ”Kami bangga, anak-anak dari rusun kami menang. Kami dikenal. Kami ini bisa dibilang rusun termuda di antara rusun-rusun peserta. Kami baru tinggal di sini dari Oktober 2014,” ujar Nining, penghuni rusun.
Kemenangan anak-anak itu membuat warga senang dan terkagum-kagum, apalagi mendengar bentuk hadiahnya.
Warsi ataupun Ashan, orangtua Jestin, sempat menghitung-hitung biaya untuk memberangkatkan satu anak ke Spanyol.
”Mahal, ya, mbak? Bisa untuk beli satu rumah sederhana, ya?” ujar Warsi yang tinggal di lantai 3 Blok C.
Wajarlah hitung-hitungan itu muncul. Bagi warga rusun yang sebagian besar bekerja di pabrik dengan gaji UMP, atau berdagang kecil-kecilan, uang untuk berangkat itu tidak masuk bayangan.
”Waktu mau dipindah ke sini, kami menangis. Kami bingung, mau jualan di mana. Dari tempat yang ramai pembeli, kami pindah ke tempat yang sepi pembeli,” ujar Warsi.
Memang, ujar Warsi, mereka mendapat fasilitas antarjemput anak sekolah, bus transjakarta, puskesmas, dan layanan Bank DKI di rusun. Selain itu, juga ada air PAM dan listrik.