JAKARTA, KOMPAS.com - Dua hal yang menjadi perhatian polisi dalam mengamankan pencoblosan Pilkada DKI Jakarta 2017 pada Rabu (15/2/2017), adalah tekanan pada pemilih serta politik uang.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengatakan, hal ini didasarkan pada indikasi yang dicatat polisi.
"Substansi yang paling penting adalah pertama adanya indikasi penekanan pada pemilih untuk memilih pasangan tertentu. Itu tak boleh, ancamannya ada," kata Argo di Jakarta, Selasa (14/2/2017).
(Baca juga: Tahapan Pilkada DKI Jakarta untuk Satu dan Dua Putaran)
Argo mengatakan, saat ini pihaknya belum menemukan laporan soal tekanan atau intimidasi terhadap pemilih.
"Kedua, money politic kami mendengar ada informasi. Sebab itu kami membentuk operasi tangkap tangan money politic," kata dia.
Kendati demikian, Argo enggan membeberkan indikasi money politic yang ditemukan polisi.
Ia hanya mengingatkan, siapa pun yang terlibat dalam pilkada dan berani memengaruhi orang lain untuk memilih atau tidak memilih calon tertentu, baik dengan tekanan maupun iming-iming materi, akan dijerat dengan undang-undang yang berlaku.
Jika ada yang terbukti menghalangi seseorang untuk menggunakan hak pilihnya, akan dijerat dengan Pasal 182a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Ancaman hukumannya, paling singkat 2 tahun dan paling lama 6 bulan. (Baca juga: Ini Kutipan Para Calon di Debat Terakhir Pilkada DKI Jakarta)
Jika tim OTT money politic menemukan adanya transaksi dalam bentuk uang atau barang lainnya terkait pemilihan, pemberinya akan dikenakan Pasal 187 UU Pemilukada dengan ancaman hukuman dari 36 hingga 72 bulan.
Penerimanya juga diproses dengan Pasal 187b dengan ancaman hukuman 32 hingga 72 bulan.