Angka ini jauh lebih sedikit dibandingkan koalisi masing-masing partai berbasis Islam tersebut dengan partai berbasis nasionalis.
Dari beberapa poin di atas, kita dapat menganalisa bahwa terjadinya koalisi partai di Pilkada lebih didasari pada pertimbangan taktis dibandingkan ideologis.
Partai yang sudah menyatakan diri sebagai oposisi cenderung akan bersama-sama, sedangkan partai yang masuk dalam pemerintahan juga cenderung akan bersama.
Partai berbasis Islam akan cenderung berkoalisi dengan partai berbasis nasionalis guna melengkapi kombinasi nasionalis relijius yang lebih diterima luas publik. Begitu juga sebaliknya, partai nasionalis membutuhkan dukungan kalangan relijius untuk memenangkan calonnya.
Menatap putaran kedua Pilkada DKI, dengan melihat peta koalisi tersebut, penulis memprediksikan bahwa peran negosiasi koalisi akan dimainkan oleh Partai Golkar.
Kelihaian Golkar dalam menjalin koalisi telah teruji di Pilkada. Golkar juga telah memiliki ikatan koalisi yang cukup banyak dengan Demokrat (42%) dan PAN (45%) di Pilkada 2017.
Sementara itu, PDIP cenderung akan mengamankan ikatan dengan PAN, PPP dan PKB yang juga telah masuk dalam pemerintahan. PDIP sangat butuh klaim dukungan partai berbasis Islam guna meredam isu SARA. Bisa saja PDIP menggunakan kursi menteri di pemerintahan sebagai daya tawar.
Di kubu yang lain, Gerindra sepertinya akan cenderung mengamankan ikatan dengan PKB. Keduanya telah berkoalisi di 37% Pilkada. Sedangkan PKS sepertinya akan cenderung mengamankan ikatan dengan PAN yang telah berkoalisi di 30% Pilkada.
Baik Gerindra dan PKS juga memiliki ikatan koalisi yang dekat dengan Demokrat, PKS telah berkoalisi di 38% pilkada sedangkan Gerindra 35%.
Penentu utama koalisi tentu akan kembali pada Partai Demokrat. Posisi Demokrat sebagai pemimpin koalisi Agus-Silvy bersama PAN, PKB, dan PPP akan membuat suaranya paling didengar.
Meski cukup dekat dengan Golkar, namun Demokrat cukup jauh dengan PDIP. Hanya 29% koalisi yang dibuat di antara mereka. Ditambah dengan beberapa insiden yang terjadi selama putaran pertama, tentu tidak mudah bagi PDIP untuk meyakinkan Demokrat agar bergabung.
Demokrat bisa saja memilih PKS dan Gerindra yang lebih banyak memiliki ikatan koalisi dengan Demokrat.
Terlepas dari komposisi koalisi yang akan terbentuk di putaran kedua Pilkada DKI Jakarta, penentu utama jatuhnya pilihan publik adalah kedua pasangan calon sendiri.
Partai menawarkan mesin pemenangan, namun sosok yang dipiih tetap kandidat Cagub dan Cawagub, bukan partai politik. Kemampuan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi dalam meraih simpati akan kembali diuji publik dalam waktu dua bulan ke depan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.