Sekitar lima tahun lalu, bus berkapasitas 40 orang itu bisa penuh penumpang, sedangkan saat ini hanya terisi kurang dari setengah. Harga tiket bus sekali perjalanan Rp 26.000. Jika penumpang penuh, penjualan tiket bisa mencapai Rp 1,04 juta.
Aris memperoleh komisi 15 persen dari tiap tiket yang terjual. Artinya, dia bisa memperoleh Rp 156.000 per hari. Namun, kini ia hanya memperoleh komisi Rp 50.000-Rp 75.000 sekali jalan.
Pendapatan itu belum dikurangi untuk makan, kebutuhan sehari-hari, dan uang kontrak rumah Rp 600.000 per bulan. Ia juga harus mengirim uang kepada istri dan dua anaknya yang tinggal di Pandeglang.
Keterpurukan juga dirasakan perusahaan otobus (PO) PT Naikilah Perusahaan Minang (NPM) yang melayani jurusan Padang-Jakarta. Sepuluh tahun lalu, dalam sehari mereka memberangkatkan lima bus dari sejumlah terminal di Jakarta. Kini, hanya satu bus yang terisi tidak lebih dari setengah.
"Sebelumnya kami mampu memberangkatkan satu bus dari tiap terminal," kata Kepala Perwakilan PT NPM Terminal Kalideres Amar Yusuf.
Menurut Yusuf, angkutan bus dari Jakarta tujuan Sumatera menjadi yang paling terpuruk setelah penerbangan berbiaya murah semakin banyak. Ada beberapa PO yang bangkrut karena kerap merugi. Bus-bus mereka hanya terisi ketika libur panjang karena saat itu harga tiket pesawat berlipat.
Bus antarkota dalam provinsi Kowanbisata termasuk yang terdampak. Ketua Umum Kowanbisata Terminal Pulo Gebang Basarudin Siregar mengungkapkan, rata-rata terjadi penurunan jumlah penumpang 30 persen per tahun. Penyebabnya antara lain maraknya persewaan mobil.
"Kalau perantau pulang bawa mobil kan lebih bergengsi, tidak peduli itu mobil pribadi atau hanya sewaan," ujar Siregar.
Siregar mengatakan, semakin banyaknya program mudik gratis juga menurunkan jumlah penumpang bus. Moda transportasi kereta yang kelas ekonominya kini terasa nyaman dengan harga terjangkau juga menjadi pesaing berat bus. Apalagi moda ini juga antimacet.
Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, jumlah pemudik dengan bus pada Lebaran ini diperkirakan turun 2,11 persen, yakni dari 4,41 juta orang menjadi 4,32 juta orang.
Siregar mengatakan, semakin menyusut jumlah penumpang semakin membuat perusahaan otobus kesulitan menutupi biayai operasionalnya, termasuk perawatan. Padahal, semakin tidak terawat, semakin bus itu rawan mengalami kecelakaan. Bus akan dipandang sebagai moda yang kurang aman. Ini bak lingkaran setan yang tak putus.
"Ini kondisi yang sulit. Kami ingin tetap berkomitmen dengan keselamatan penumpang, tetapi butuh biaya. Sementara penerimaan dari penumpang terus menurun," ujarnya.
Hasil uji ramp check nasional menjelang Lebaran ini, masih ada 30 persen bus angkutan Lebaran yang tidak laik jalan.
Semua kondisi ini membuat bus kehilangan daya tariknya. Padahal, semestinya bus bisa menjadi salah satu tulang punggung transportasi massal.
(NIKSON SINAGA/B KRISNA YOGATAMA)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Juni 2017, di halaman 1 dengan judul "Kejayaan yang Kini Tinggal Kenangan".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.