JAKARTA, KOMPAS.com - PT Mass Rapid Transit (MRT) membutuhkan seperangkat aturan untuk mendukung pembangunan yang mereka lakukan di bawah tanah.
Saat MRT beroperasi nanti, ruang bawah tanah akan dioptimalkan untuk berbagai macam keperluan untuk stasiun hingga transit oriented development (TOD).
"Kami ingin ketika kami masuk ke ranah baru itu ada landasan hukumnya. Kami mau ingatkan semua pihak, kalau mau memaksimalkan ruang bawah tanah itu perlu ada Undang-undang yang mengatur," kata Direktur Utama PT MRT William Sabandar di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Selasa (5/12/2017).
Sebenarnya sudah ada beberapa peraturan yang membahas soal ruang bawah tanah. Namun, bentuknya baru berupa peraturan gubernur dan peraturan menteri.
Baca juga : Sandi: Proyek MRT Kebut Operasi, Keselamatan Jangan Jadi Kompromi
William mengatakan, sebaiknya pemanfaatan ruang bawah tanah untuk publik ini diikat dengan landasan hukum yang lebih kuat seperti Undang-undang dan peraturan daerah.
Ada tiga jenis peraturan yang rencananya akan didorong oleh PT MRT. Pertama adalah perda tentang pengelolaan ruang bawah tanah. William mengatakan rancangan perdanya sudah masuk dalam prolegda 2018.
Baca juga : Kunjungan Masyarakat ke Lokasi Proyek MRT Jakarta Ditutup
"Ketiga kita harap ada revisi UU tentanf ibu kota yang sekarang sedang digarap dari kementerian, yang menggagas Kemendgri," ujar William.
Baca juga : Anies Minta MRT Ganti Motor Korban Jatuhnya Beton Pembatas
Besok, PT MRT akan menggelar workshop dan mengundang pejabat terkait tiga aturan itu. William mengingatkan MRT Fase I akan memiliki 6 kilometer ruang bawah tanah dari Bundaran Hotel Indonesia sampai Patung Bundaran Senayan. Stasiun-stasiun yang ada di sepanjang jalur tersebut juga akan menggunakan ruang bawah tanah.
Pada pembangunan MRT Fase II, penggunaan ruang bawah tanah akan lebih banyak lagi. Belum lagi jika ada pembangunan TOD. Ruang bawah tanah MRT juga akan dimanfaatkan untuk jalur pejalan kaki hingga foodcourt.