JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Unit Pengelola Rumah Susun Marunda, Jakarta Utara, Yasin Pasaribu mengakui jumlah warga yang memanfaatkan greenhouse atau rumah kaca di Rusun Marunda berkurang.
Yasin menilai, faktor ekonomi membuat penghuni berpaling dari greenhouse yang dibangun pada 2014 itu.
Ia mengatakan, produk pertanian dari greenhouse tersebut sulit bersaing di pasaran.
"Hasil dari itu (greenhouse) juga memang jauh dari yang di pasaran, lebih mahal hasil greenhouse. Untuk pasar itu susah mendapatkan pembelinya, (harga) segitu, kan, seharusnya (dijual) di swalayan atau di mal," kata Yasin saat dihubungi, Senin (26/3/2018).
Baca juga: Greenhouse Rusun Marunda yang Dimodali Jokowi Rp 450 Juta Tak Terurus
Akibatnya, keuntungan yang diperoleh para petani juga menurun.
Di samping itu, tanaman-tanaman yang ditanam secara hidroponik juga tidak sesuai kebutuhan warga sekitar.
Baca juga: Bercocok Tanam dan Berbagi ala Petani Rusunawa Marunda
Sebut saja, pokcay atau caisim yang namanya masih terdengar asing di telinga para penghuni rusun.
"Selama ini kalau menanam juga bingung bibitnya dari mana. Begitu panen juga bingung mau dijual ke mana," katanya.
Jenis tumbuhan yang ditanam pun lebih 'dekat' dengan masyarakat seperti cabai, terong, dan tomat.
Baca juga: Dulu Bisa Raup Rp 15 Juta Per Bulan, Pertanian di Rusun Marunda Kini Lesu
Akibatnya, greenhouse itu seolah hidup segan mati tak mau di tengah keramaian rusun.
Diresmikan Jokowi
Greenhouse tersebut diresmikan Joko Widodo ketika ia menjabat Gubernur DKI Jakarta pada 2014 lalu. Dana pembangunan greenhouse itu pun disebut berasal dari kantung pribadi Jokowi.
Setelah menggunakan greenhouse, Kelompok Tani Marunda Hijau Rusun Marunda dapat meraup Rp 500.000 per hari dari sayur yang mereka tanam di greenhouse.