KOMPAS.com - Robur. Pernah dengar nama ini? Robur adalah nama bus pada tahun 1965-an, yang menggantikan keberadaan trem saat itu.
Bagaimana ceritanya?
Pada 1965, Presiden Soekarno menghapus keberadaan trem sebagai alat transportasi warga Ibu Kota.
Alasan Bung Karno, kondisi Jakarta yang semakin padat dan ramai membuat keberadaan trem tak sesuai lagi.
Akhirnya, pemerintah membuat terobosan baru dengan mendatangkan bus yang dianggap sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Baca juga: Hari Ini 34 Tahun Lalu, Bandara Kemayoran Berhenti Beroperasi
Bus ini dikenal dengan nama "Robur". Bus Robur merupakan produk dari Volkseigener Betrieb/VEB Robur-Werke Zittau yang berasal dari Jerman Timur.
Kedatangan bus Robur
Pada Juli dan Agustus 1965, sebanyak 200 badan (body) bus Robur kiriman tahap pertama diberangkatkan dari pabriknya di Kota Halle, Jerman.
Penerimaan bus-bus ini di Indonesia ditangani oleh PT Imermotors Djakarta sebagai pihak pengelola importir.
Sekilas, bentuk bus ini disebut seperti roti tawar dan hampir sama dengan Volkswagen Samba Bus/VW Combi.
Pada 4 Januari 1967, Harian Kompas memberitakan, sebanyak 50 bus Robur siap melayani warga Ibu Kota.
Penyerahan secara simbolis dilakukan oleh Menteri Perindustrian Dasar Ringan dan Tenaga, Mayjend M Jusuf kepada Menteri Dalam Negeri, Letjend Basuki Rachmat.
Setelah itu, penyaluran bus Robur secara bertahap menyebar ke daerah-daerah lain seperti Jatim, Jateng, Makasar, Aceh, Yogyakarta, dan lain-lain.
Perkembangan bus Robur di Ibu Kota
Pada awal Januari 1967, 50 bus Robur mulai melayani berbagai trayek yang dipilih PT Tavip, perusahaan pengelolanya.
PT Tavip membagi 50 bus ke beberapa trayek.
Untuk jalur Grogol-Lapangan Banteng sejumlah 25 bus; Jembatan Semanggi-Harmoni-Lapangan Banteng 5 bus; Stasiun Jatinegara 5 bus, dan untuk cadangan PT Tavip menyediakan 5 bus.
Dengan beroperasinya bus Robur, maka operasional bus-bus lama akan disalurkan untuk jalur di Kebayoran Baru dan Tanjung Priok.
Tarif bus Robur
Bus Robur yang berkapasitas 29 penumpang itu, beroperasi saat pemerintah baru memberlakukan kebijakan moneter berupa penerbitan uang baru dan pemotongan nilai tukar rupiah sebesar 1.000 persen.
Dengan adanya kebijakan tersebut, pecahan Rp 1.000 sama dengan Rp 1.
Selaku penyelenggara transportasi saat itu, PT Tavip memasang tarif jauh-dekat Rp 20 sen untuk uang baru dan Rp 200 untuk nilai pecahan lama.
Pada tahun yang sama, tarif Robur naik menjadi Rp 50 sen dan kemudian naik lagi menjadi Rp 5.
Pada April 1968, pemerintah menaikkan lagi tarif ini menjadi Rp 10.
Namun, kenaikan tarif tidak dibarengi dengan fasilitas yang memadai. Bus Robur memiliki ventilasi kendaraan yang tidak sesuai dengan kondisi iklim Indonesia.
Jendela pada samping kanan-kiri tidak dapat dibuka. Kondisi tersebut menyebabkan penumpang merasa pengap dan kegerahan karena tidak leluasanya udara yang masuk ke bus.
Para warga Ibu Kota mulai mengeluhkan kondisi bus Robur.
Pada tahun 1980-an, eksistensi bus Robur mulai meredup. Setelah hampir 20 tahun beroperasi di Ibu Kota dan sejumlah daerah di Indonesia, keberadaan bus Robur mulai ditinggalkan. Berganti dengan metromini yang dianggap lebih layak.