KOMPAS.com - Dalam sepekan terakhir ini muncul tiga pemberitaan tentang pembunuhan sadis yang terjadi di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kasus pembunuhan itu antara lain jenazah korban yang disimpan dalam drum dan pembunuhan satu keluarga di Bekasi.
Selain ketiga kasus di atas, pada 2015 juga ditemukan kasus pembunuhan terhadap bocah Engeline (8 tahun). Kasus itu ramai dibicarakan lantaran jenazahnya dikubur di pekarangan rumah ibu angkatnya.
Beberapa kasus pembunuhan sadis itu menimbulkan semacam momok tersendiri bagi masyarakat secara umum. Lalu kenapa pembunuhan sadis kerap terjadi?
Ketua Departemen Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Iqrak Sulhin menyampaikan bahwa awal mula pembunuhan digolongkan dalam dua jenis.
"Pembunuhan itu ada dua jenis, intended (diniatkan) dan unintended (tidak diniatkan). Kalau yang diniatkan bentuknya seperti pembunuhan akibat perampokan, membela diri, atau kelalaian," ujar Iqrak ketika dihubungi Kompas.com pada Rabu (21/11/2018).
Menurut Iqrak, pembunuhan yang direncanakan merupakan kasus pembunuhan yang paling dominan terjadi dan banyak dianalisis dalam kriminologi.
Baca juga: 3 Pembunuhan Sadis di Jabodetabek dalam Sepekan...
Terjadinya kasus pembunuhan juga biasanya diikuti oleh beberapa faktor, seperti terjadinya masalah dalam hubungan interpersonal antara pelaku dengan korban.
"Masalah interpersonal seperti adanya dendam, sakit hati, atau sengketa. Ini pula yang menjadi dasar bahwa pelaku adalah orang yang dikenal korban," ujar Iqrak.
Iqrak juga mengungkapkan bahwa jarang sekali, bahkan nyaris tidak pernah ada kasus pembunuhan berencana yang dilakukan oleh orang asing.
Menurut Iqrak, pembunuhan terjadi karena hilangnya mekanisme sosial yang memberi ruang bagi perbincangan hangat antar-manusia.
"Karena ciri khas manusia adalah berinteraksi, sebagai makhluk sosial, sehingga bisa saja ada masalah di dalam interaksi tersebut yang berujung pada terjadinya kekerasan," ujar Iqrak.
Dalam pengamatan Iqrak, yang terjadi saat ini adalah interaksi cenderung terjadi secara formalistik, hanya dalam bentuk interaksi saling sapa saja dengan tetangga, atau perintah dari atasan.
Yang mana interaksi formalitas tidak memberi ruang bagi penyelesaian masalah.
Kemudian, untuk kasus pembunuhan sadis ini, keberingasan pembunuh memang sulit untuk dijelaskan.
Namun, untuk salah mengkategorikan apakah pembunuhan itu dianggap sadis bisa dilihat secara kualitatif atau kuantitatif. Dalam konteks ini, adalah cara pembunuhan dan jumlah korban.
Salah satu contoh pembunuhan sadis dalam ukuran kualitatif, misalnya mutilasi. Menurut Iqrak, setidaknya ada dua alasan pelaku melakukan kejahatan itu.
"Mutilasi bisa dikategorikan ada dua. Pertama, ada yang memang mengindikasikan amarah dari pelaku. Kedua, ada juga yang bersifat ingin menghilangkan jejak," ujar Iqrak.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.