JAKARTA, KOMPAS.com- Komunitas nelayan dinilai menjadi pihak yang paling terdampak akibat adanya proyek pulau reklamasi di utara Jakarta.
Keberadaan gundukan tanah berhektare-hektare di atas perairan Teluk Jakarta membuat para nelayan kesulitan mencari ikan dan biota laut lainnya.
Senin (17/12/2018), Kompas.com bertemu sejumlah nelayan kerang hijau di Kampung Kerang Ijo, Muara Angke, Jakarta Utara. Mereka mengakui, mencari kerang setelah ada reklamasi tidak semudah dahulu.
Khalil (51) sudah 26 tahun tinggal di Kampung Kerang Ijo dan berprofesi sebagai nelayan kerang. Ia merasakan betul sulitnya mencari kerang sejak reklamasi dimulai pada 2013 lalu.
Baca juga: Perjalanan Panjang Reklamasi Teluk Jakarta, dari Soeharto hingga Anies
"Dampak yang paling parah reklamasi terhadap nelayan itu banyak cara kehidupan nelayan yang dirusak, bukan zonasinya saja, banyak cara aktivitas nelayan kami yang dibunuh," kata Khalil.
Khalil membeberkan, ada banyak aktivitas nelayan yang berubah karena sulitnya mencari kerang selepas adanya proyek reklamasi.
Salah satunya adalah biaya bahan bakar yang membengkak karena para nelayan harus berlayar lebih jauh demi mencari kerang hijau.
Penyebabnya, area tempat hidupnya kerang hijau dan berbagai biota laut lainnya kini sudah ditimbun pulau hasil reklamasi.
"Yang biasa dihuni oleh ikan-ikan disukai untuk makannya, tempat dia beristirahat menaruh telur itu rusak, dimusnahkan oleh pulau," ujar Khalil.
Khalil bercerita, kini ia harus menghabiskan sedikitnya 12 liter bensin untuk mencari kerang. Padahal, sebelumnya dengan 4 liter bensin saja dia sudah bisa menemukan kerang dengan jumlah yang lebih banyak.
Keluh kesah serupa juga disampaikan oleh Dodo, nelayan yang 20 tahun lebih mencari nafkah di perairan Teluk Jakarta.
Baca juga: Hal yang Harus Diperhatikan Sebelum Mengembangkan Pulau Reklamasi
Ia mengaku, jumlah kerang yang diperolehnya dalam satu hari berkurang hingga 20 persen.
"Sebelum reklamasi, bisa dapat 50 ember. Satu ember dagingnya saja dua kilogram, kalau lagi bagus. Sekarang, satu hari 40 ember, berkurang 20 persen, ukuran dagingnya juga mengecil," kata Dodo.
Kendati demikian, Dodo mengaku bersyukur karena setelah proyek reklamasi dihentikan, dirinya sedikit lebih mudah mencari kerang hijau.
"Reklamasi berjalan mah ini kerang mati semua, karena airnya mengandung air obat, enggak bagus. Ini sudah mendingan setelah reklamasi enggak jalan karena kerang hidup lagi," kata dia.
Di samping itu, pulau reklamasi juga menyebabkan pendangkalan yang menyebabkan para nelayan sulit berlayar.
Dodo bercerita, dirinya harus menunggu air pasang supaya bisa berlayar atau merapat ke daratan. Bila tidak, kapal yang dinaiki akan kandas.
Cerita Dodo dan Khalil sedikit banyak dapat menggambarkan kesulitan yang dialami nelayan akibat proyek pembangunan pulau reklamasi di Teluk Jakarta.
Pada 2016, penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan menunjukkan potensi kerugian nelayan dari hilangnya wilayah perairan mencapai Rp 94.714.228.734 atau hampir Rp 95 miliar per tahun.
Sementara, kerugian pembudidaya kerang tercatat sebesar Rp 98.867.000.591 atau hampir Rp 99 miliar per tahun dan pembudidaya ikan di tambak sebesar Rp 13.572.063.285 atau hampir Rp 14 miliar per tahun.
Baca juga: Reklamasi di Singapura dan Rencana Reklamasi di Jakarta
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebelumnya menyampaikan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan mengelola tiga pulau hasil reklamasi yang terlanjur dibangun.
Nantinya, dalam program Pemprov DKI, nelayan juga akan dilibatkan sehingga keberadaan pulau buatan tersebut bisa bermanfaat bagi para nelayan di utara Jakarta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.