KOMPAS.com - Seorang siswa di Pontianak, Kalimantan Barat depresi dan sempat mau bunuh diri lantaran tak bisa masuk SMA negeri saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Juni 2019 lalu.
Cerita ini bukan yang pertama. Setahun sebelumnya, seorang siswi SMP Negeri 1 Blitar berinisial EPA (16 tahun) bunuh diri.
EPA diduga bunuh diri karena khawatir tidak bisa diterima di SMA Negeri 1 Kota Blitar pasca-penerapan sistem zonasi.
Psikiater dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ menyurvei 910 pelajar dari SMAN dan SMKN terakreditasi A di DKI Jakarta. Hasilnya, sebanyak 5 persen memiliki ide bunuh diri.
Baca: 5 Persen Pelajar di SMAN dan SMKN Unggulan di Jakarta Punya Ide Bunuh Diri
Noriyu mengatakan sekolah memang berperan besar dalam pencegahan bunuh diri anak.
"Harus ada kerja sama dari orang tua dan sekolah untuk bisa melakukan pengawasan yang bisa dikatakan secara komprehensif. Dari prestasi anak bisa diketahui untuk mengetahui kondisi kejiwaan si anak," ujar Noriyu usai sidang doktoralnya tentang ide bunuh diri di kalangan SMA, Kamis (12/7/2019).
Pemerintah telah banyak melakukan program sebagai langkah preventif seperti Program Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) dan Konselor Sebaya, Rapor Kesehatanku, Usaha Kesehatan Sekolah dengan beberapa jalur intervensi atau penanganan masalahnya, poskestren, Sekolah Ramah Anak (SRA), program kesehatan jiwa berbasis sekolah, dan Program di faskes yang bekerja sama dengan BPJS.
Di SMA negeri di Jakarta yang mengklaim ramah anak, sistem ranking atau pemeringkatan tak lagi diterapkan. Harapannya, anak tak tertekan atau terbebani dengan kompetisi.
Begitu pula penerapan sistem zonasi yang tak lagi mengutamakan perolehan nilai anak, melainkan jarak rumah ke sekolah.
Namun Noriyu mempertanyakan efektivitas dan kelangsungannya untuk pendewasaan anak.
"Saya khawatir dengan masalah kompetisi, masak sih kita enggak sanggup menghadapi kompetisi? Kita dulu menghadapi, you deal with it, tapi anak ini tidak boleh menghadapi realita," ujar Noriyu.
Ia berpendapat tak apa jika berdasarkan penelitian, kebijakan itu berdampak positif untuk kesehatan jiwa anak.
Namun faktanya, berdasarkan penelitiannya, masih banyak anak yang punya ide untuk bunuh diri kendati sekolah sudah mengakomodasi kesehatan jiwa anak.
Baca juga: Ketika Agama Tak Mempan Cegah Remaja Jakarta Bunuh Diri
Penelitiannya pada 2015 dengan P2MKJN Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan juga mengungkap dari 1.014 sampel ditemukan 19 persen memiliki ide bunuh diri tapi tidak melakukan dan 1 persen yang serius ingin melakukan bunuh diri.