JAKARTA, KOMPAS.com - Tidak ada nikmatnya tidur pulas yang bisa dirasakan Hery saat menyambut pergantian tahun 2019-2020.
Sejak pagi buta pada 1 Januari kemarin, pria lima anak ini sibuk mendengar informasi dari media bahwa ketinggian air di pintu air Katulampa sudah siaga.
Hujan deras tiada henti menguatkan firasatnya bahwa rumah yang dia tempati akan dilanda bencana banjir.
Baca juga: Terkepung Banjir di Kelapa Gading, Pasangan Ini Tetap Langsungkan Pernikahan
Sebagai penduduk yang tinggal di bantaran Kali Mampang, insting Hery mengirim "sinyal" bahwa dia harus segera mengarahkan istri dan kelima anaknya agar bersiap menaikkan barang-barang berharga ke lantai dua rumahnya.
Benar saja, sejak pukul 03.00 dini hari air mulai naik kepermukaan permukiman. Deras, coklat dan banyak lumpur. Benar-benar khas air luapan kali.
Namun, ada sedikit perasaan "menganggap remeh" dari dalam diri Hery. Dia berpikir banjir mungkin saja hanya setinggi tulang kering kaki orang dewasa, seperti yang sudah-sudah.
"Makanya saya suruh anak-anak saya untuk mengungsi lebih dahulu. Biar saya saja yang beresin barang-barang sendiri," ujar Hery saat ditemui di rumahnya, Kamis (2/1/2019).
Pagi pun datang, matahari mulai menampakkan cahayanya di balik awan mendung. Namun, di saat itu Hery merasakan ada yang aneh dengan rumahnya.
Dari lantai dua, dia merasakan rumahnya yang berbahan dasar semen, papan, dan kayu mulai bergoyang-goyang. Bingung bukan kepalang, dia pun mencoba menengok keluar.
Dia pun terkejut, ternyata air semakin meninggi dengan arus yang semakin deras pula. Dari yang tadinya santai, perlahan jantungnya mulai berdegup kencang menandakan kepanikan.
Masuk pukul 08.00 WIB, keadaan mulai makin parah karena air semakin tinggi, kurang lebih mencapai 2 meter.
Baca juga: Terkepung Banjir di Kelapa Gading, Pasangan Ini Tetap Langsungkan Pernikahan
Rumah di kanan kirinya pun sudah dilalap air yang meluap dari Kali Mampang.
Hery mengaku heran, sudah hampir 24 tahun dia tinggal di sana, tetapi baru kali ini merasakan banjir dengan ketinggian air begitu cepat.
Biar bagaimanapun, Hery juga ingin menyelamatkan diri, mengingat keluarga dan para tetangganya sudah mengungsi ke tempat yang lebih tinggi.
"Tinggal saya sendirian. Yang lain sudah ngungsi," ujar dia sambil sesekali menghisap pipa tembakau (cangklong) di tangan kirinya.