"Sementara orang lain bisa pulang kampung, mudik, ketemu keluarga, sementara mereka semakin jauh harapannya untuk bisa kembali seperti semula," kata Harif.
Kegamangan itu makin terasa dengan potensi terjadinya lonjakan kasus Covid-19 akibat new normal yang digaungkan pemerintah.
Pasalnya, menurut Harif, tak ada jaminan bahwa pelaksanaan new normal kelak akan berlangsung optimal, dengan protokol kesehatan diterapkan secara ketat di mana-mana.
Terlebih, bukan hanya new normal, pemerintah juga akan melakukan pengurangan PSBB, sesuatu yang diklaim oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy kemarin, berbeda dengan pelonggaran PSBB.
"Masalahnya, yang mau diimplementasikan oleh pemerintah adalah relaksasi PSBB. Kalau new normal-nya orang harus jaga jarak, ya bagus-bagus saja. Jangan seperti di bandara kemarin, itu bukan new normal namanya!" tegas Harif, merujuk insiden membeludaknya Bandara Soekarno-Hatta, Kamis (14/5/2020) lalu tak lama setelah pemerintah mengizinkan beroperasinya transportasi umum.
Baca juga: Ini Dua Faktor yang Membuat Kasus Covid-19 di Sunter Agung Tertinggi di Jakarta
"Mau mal buka, kantor buka, tapi protokol kesehatan harus tetap diterapkan, jarak antarorang 1 meter, banyak fasilitas cuci tangan, pakai masker. Tapi kalau kita lihat konteks hari ini, orang-orang kita disiplinnya sangat kurang, PSBB belum dilonggarkan saja sudah banyak pelanggaran, apalagi jika nanti dilonggarkan?" tambah dia.
Para perawat pun semakin pesimistis melihat akhir cerita pandemi ini di Indonesia.
Harapan bahwa mereka dapat segera bernapas lega, semakin hari semakin surut, apabila new normal betul-betul diterapkan tanpa protokol kesehatan yang ketat.
"Kira-kira begitu lah, ya (semakin jauh dari optimisme), walaupun teman-teman itu jarang mengeluarkan keluhan semacam itu karena memang sudah menjadi tugas harian," ujar Harif.
Badan Kesehatan Dunia alias WHO merilis enam panduan bagi negara-negara yang ingin beralih ke fase new normal.
Keenamnya menitikberatkan pada tanggung jawab penuh pemerintah, bukan semata kesadaran masyarakat untuk melakukan pola hidup bersih dan sehat.
Pertama, negara tersebut harus memiliki bukti bahwa penularan Covid-19 dapat dikendalikan.
Baca juga: Puluhan WNA Jemaah Tabligh Akbar Positif Bikin Kasus Covid-19 di Sunter Agung Melonjak
Kedua, kapasitas sistem layanan kesehatan termasuk rumah sakit dipastikan sanggup mendeteksi, mengisolasi, memeriksa, dan melacak serta mengarantina orang-orang yang kemungkinan berhubungan dengan pasien Covid-19.
Ketiga, risiko merebaknya wabah sanggup ditekan di lingkungan yang berisiko tinggi, seperti rumah-rumah para lansia hingga tempat-tempat berkerumun.
Keempat, sistem pencegahan di tempat-tempat kerja dapat diukur secara pasti, melalui physical distancing, ketersediaan fasilitas cuci tangan, dan etika batuk/bersin.