Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kegamangan Tenaga Medis di Tengah Skenario The New Normal Indonesia...

Kompas.com - 19/05/2020, 05:18 WIB
Vitorio Mantalean,
Jessi Carina

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia belakangan menggaungkan istilah the new normal atau pola hidup normal versi baru yang menuntut warga hidup berdamai dan berdampingan dengan pandemi Covid-19 yang belum kelihatan ujungnya.

Dalam new normal, ada indikasi bahwa beberapa sektor kegiatan yang tadinya ditutup akan dibuka kembali.

Namun, skenario new normal ini berpotensi menciptakan peningkatan kasus Covid-19 lagi dan berimbas pada tenaga medis, khususnya para perawat.

"Ini yang menjadi perhatian kami. Kami sudah punya prediksi, khawatir ada banyak eskalasi kasus. Jika kasus meningkat, maka kami-kami juga yang menjadi ujung tombak," ujar Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadhillah ketika dihubungi Kompas.com pada Senin (18/5/2020).

Baca juga: Indonesia Dipaksa Sambut New Normal saat Kematian akibat Covid-19 Diperkirakan 3 Kali Lipat Data Pemerintah

"Menjadi kegamangan tersendiri (bagi perawat) karena itu tadi, berarti masih lama kami akan bertugas seperti hari ini," lanjut dia.

Sulit dibantah, para perawat bersama dokter dan tenaga medis lain merupakan kalangan yang paling rentan dengan risiko terpapar Covid-19.

Mereka bekerja sekitar 8 jam sehari dan selama itu pula tubuh mereka dibungkus alat pelindung diri lengkap.

Mereka berhubungan langsung dengan pasien suspect maupun positif Covid-19 di tempat paling terpapar.

Hingga saat ini, data PPNI menyebutkan, 20 perawat pasien Covid-19 telah meninggal dunia, 59 saat ini positif Covid-19, dan 68 perawat kini tengah dirawat sebagai pasien suspect maupun positif Covid-19.

Baca juga: Jakarta Bersiap New Normal, Satpol PP hingga Perangkat RW Harus Lebih Aktif

"Tingkat kematian tenaga medis Indonesia ternyata sekitar 6,5 persen (dari total kematian akibat Covid-19), data dari The Conversation," ujar Harif.

"Itu tinggi sekali, sementara negara lain (rata-rata global kematian tenaga medis) 0,3 persen. Artinya, memang kita merasa tidak dilindungi kalau demikian caranya," lanjutnya.

Jumlah itu diperkirakan bakal meningkat seiring dengan potensi lonjakan kasus Covid-19 akibat penerapan new normal jika tak dibarengi protokol kesehatan.

Tak ada garansi new normal diimbangi dengan protokol ketat

Harif menyebutkan, hingga hari ini, praktis para perawat sudah hampir 3 bulan para perawat tak bisa pulang ke rumah karena menjalani tugas ini.

Ia tak meragukan dedikasi dan idealisme para perawat, namun ia menganggap wajar apabila para perawat merasa gamang.

Baca juga: Penerapan New Normal, Masyarakat Dituntut untuk Bisa Beradaptasi

"Sementara orang lain bisa pulang kampung, mudik, ketemu keluarga, sementara mereka semakin jauh harapannya untuk bisa kembali seperti semula," kata Harif.

Kegamangan itu makin terasa dengan potensi terjadinya lonjakan kasus Covid-19 akibat new normal yang digaungkan pemerintah.

Pasalnya, menurut Harif, tak ada jaminan bahwa pelaksanaan new normal kelak akan berlangsung optimal, dengan protokol kesehatan diterapkan secara ketat di mana-mana.

Terlebih, bukan hanya new normal, pemerintah juga akan melakukan pengurangan PSBB, sesuatu yang diklaim oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy kemarin, berbeda dengan pelonggaran PSBB.

"Masalahnya, yang mau diimplementasikan oleh pemerintah adalah relaksasi PSBB. Kalau new normal-nya orang harus jaga jarak, ya bagus-bagus saja. Jangan seperti di bandara kemarin, itu bukan new normal namanya!" tegas Harif, merujuk insiden membeludaknya Bandara Soekarno-Hatta, Kamis (14/5/2020) lalu tak lama setelah pemerintah mengizinkan beroperasinya transportasi umum.

Baca juga: Ini Dua Faktor yang Membuat Kasus Covid-19 di Sunter Agung Tertinggi di Jakarta

"Mau mal buka, kantor buka, tapi protokol kesehatan harus tetap diterapkan, jarak antarorang 1 meter, banyak fasilitas cuci tangan, pakai masker. Tapi kalau kita lihat konteks hari ini, orang-orang kita disiplinnya sangat kurang, PSBB belum dilonggarkan saja sudah banyak pelanggaran, apalagi jika nanti dilonggarkan?" tambah dia.

Para perawat pun semakin pesimistis melihat akhir cerita pandemi ini di Indonesia.

Harapan bahwa mereka dapat segera bernapas lega, semakin hari semakin surut, apabila new normal betul-betul diterapkan tanpa protokol kesehatan yang ketat.

"Kira-kira begitu lah, ya (semakin jauh dari optimisme), walaupun teman-teman itu jarang mengeluarkan keluhan semacam itu karena memang sudah menjadi tugas harian," ujar Harif.

Syarat negara terapkan new normal versi WHO

Badan Kesehatan Dunia alias WHO merilis enam panduan bagi negara-negara yang ingin beralih ke fase new normal.

Keenamnya menitikberatkan pada tanggung jawab penuh pemerintah, bukan semata kesadaran masyarakat untuk melakukan pola hidup bersih dan sehat.

Pertama, negara tersebut harus memiliki bukti bahwa penularan Covid-19 dapat dikendalikan.

Baca juga: Puluhan WNA Jemaah Tabligh Akbar Positif Bikin Kasus Covid-19 di Sunter Agung Melonjak

Kedua, kapasitas sistem layanan kesehatan termasuk rumah sakit dipastikan sanggup mendeteksi, mengisolasi, memeriksa, dan melacak serta mengarantina orang-orang yang kemungkinan berhubungan dengan pasien Covid-19.

Ketiga, risiko merebaknya wabah sanggup ditekan di lingkungan yang berisiko tinggi, seperti rumah-rumah para lansia hingga tempat-tempat berkerumun.

Keempat, sistem pencegahan di tempat-tempat kerja dapat diukur secara pasti, melalui physical distancing, ketersediaan fasilitas cuci tangan, dan etika batuk/bersin.

Kelima, risiko penularan kasus impor dapat ditangani.

Keenam, komunitas-komunitas/warga bisa “bersuara” (soal pandemi) dan dilibatkan dalam transisi menuju new normal.

Di samping itu, panduan tersebut sebetulnya ditujukan untuk negara-negara Eropa, karena beberapa negara di sana mulai menunjukkan tanda-tanda membaik berdasarkan kajian ilmiah, seperti Spanyol, Italia, Jerman, Perancis, dan Swiss.

Baca juga: Mal di Jakarta Dijadwalkan Kembali Beroperasi 8 Juni 2020

Sementara itu, Indonesia masih bergelut dengan kenaikan kasus Covid-19 setiap hari dengan masalah minimnya pemeriksaan.

Sebagai perbandingan, di antara 5 negara dengan jumlah penduduk terbanyak sedunia, kemampuan tes Covid-19 Indonesia paling buruk.

Berdasarkan data aktual Worldometers per Senin (18/5/2020), India dan Pakistan memeriksa 1,6 orang per 1.000 penduduk; Brazil memeriksa 3,4 orang per 1.000 penduduk; dan Amerika memeriksa 33 orang per 1.000 penduduk.

Bagaimana dengan Indonesia?

Negara ini hanya sanggup memeriksa 0,6 orang per 1.000 penduduk.

Di region Asia Tenggara, Indonesia bahkan tertinggal jauh dari negeri jiran Malaysia yang memeriksa 13 orang per 1.000 penduduk dan Filipina yang memeriksa 2 orang per 1.000 penduduk.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Akibat Hujan Angin, Atap ICU RS Bunda Margonda Depok Ambruk

Akibat Hujan Angin, Atap ICU RS Bunda Margonda Depok Ambruk

Megapolitan
Arogansi Pengendara Fortuner yang Mengaku Anggota TNI, Berujung Terungkapnya Sederet Pelanggaran Hukum

Arogansi Pengendara Fortuner yang Mengaku Anggota TNI, Berujung Terungkapnya Sederet Pelanggaran Hukum

Megapolitan
Banjir dan Fasilitas Rusak, Pekerja di Pelabuhan Sunda Kelapa: Tolong Perbaiki, Supaya Banyak Pengunjung...

Banjir dan Fasilitas Rusak, Pekerja di Pelabuhan Sunda Kelapa: Tolong Perbaiki, Supaya Banyak Pengunjung...

Megapolitan
Walkot Depok Idris: Saya Cawe-cawe Dukung Imam Budi Hartono di Pilkada

Walkot Depok Idris: Saya Cawe-cawe Dukung Imam Budi Hartono di Pilkada

Megapolitan
Jakarta yang Terbuka Lebar bagi Para Perantau, tetapi Jangan Nekat...

Jakarta yang Terbuka Lebar bagi Para Perantau, tetapi Jangan Nekat...

Megapolitan
Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Kamis 18 April 2024 dan Besok: Siang ini Hujan Ringan

Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Kamis 18 April 2024 dan Besok: Siang ini Hujan Ringan

Megapolitan
Kisah di Balik Menjamurnya Warung Madura, Ada Bos yang Dukung Pekerja Buka Usaha Sendiri

Kisah di Balik Menjamurnya Warung Madura, Ada Bos yang Dukung Pekerja Buka Usaha Sendiri

Megapolitan
Polisi Imbau Masyarakat Setop Bagikan Video Bunuh Diri Selebgram Meli Joker

Polisi Imbau Masyarakat Setop Bagikan Video Bunuh Diri Selebgram Meli Joker

Megapolitan
[POPULER JABODETABEK] Sopir Fortuner yang Mengaku Adik Jenderal Ditangkap | Pendeta Gilbert Lumoindong Dituduh Nistakan Agama

[POPULER JABODETABEK] Sopir Fortuner yang Mengaku Adik Jenderal Ditangkap | Pendeta Gilbert Lumoindong Dituduh Nistakan Agama

Megapolitan
Sejumlah Calon Wali Kota Bogor Mulai Pasang Baliho, Rusli Prihatevy Mengaku Masih Santai

Sejumlah Calon Wali Kota Bogor Mulai Pasang Baliho, Rusli Prihatevy Mengaku Masih Santai

Megapolitan
Mengaku Polisi, Seorang Begal Babak Belur Diamuk Massa di Bekasi

Mengaku Polisi, Seorang Begal Babak Belur Diamuk Massa di Bekasi

Megapolitan
Beredar Foto Dahi Selebgram Meli Joker Benjol Sebelum Bunuh Diri, Polisi: Itu Disebabkan oleh Korban Sendiri

Beredar Foto Dahi Selebgram Meli Joker Benjol Sebelum Bunuh Diri, Polisi: Itu Disebabkan oleh Korban Sendiri

Megapolitan
Polisi Sebut Kekasih Selebgram yang Bunuh Diri Sambil 'Live' Tak Lakukan Kekerasan Sebelum Korban Akhiri Hidup

Polisi Sebut Kekasih Selebgram yang Bunuh Diri Sambil "Live" Tak Lakukan Kekerasan Sebelum Korban Akhiri Hidup

Megapolitan
Merantau ke Jakarta Jadi Pemilik Warung Sembako, Subaidi Sering Dianggap Punya Banyak Uang oleh Orang di Kampung

Merantau ke Jakarta Jadi Pemilik Warung Sembako, Subaidi Sering Dianggap Punya Banyak Uang oleh Orang di Kampung

Megapolitan
PDI-P Depok Sebut Supian Suri Punya Modal Popularitas dan Elektabilitas untuk Ikut Pilkada

PDI-P Depok Sebut Supian Suri Punya Modal Popularitas dan Elektabilitas untuk Ikut Pilkada

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com