JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI tengah menggodok rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang Penanggulangan Covid-19.
Beleid tersebut disusun lantaran DKI mengalami keadaan luar biasa dan berstatus darurat wabah Covid-19. Raperda juga dibuat agar aturan terkait penanggulangan Covid-19 di Ibu Kota memiliki dasar hukum yang lebih kuat.
Setelah ditetapkan, perda tersebut akan lebih lengkap daripada Peraturan Gubernur (Pergub) yang sebelumnya menjadi payung hukum penanganan Covid-19 di Jakarta.
Baca juga: Fraksi PDI-P Pertanyakan Cakupan Raperda Penanggulangan Covid-19
Dalam draf raperda yang diterima Kompas.com, terdapat sejumlah larangan bagi warga selama pandemi Covid-19.
Mulai dari larangan memberikan stigma kepada pasien dan mengambil paksa jenazah Covid-19, hingga kewajiban aplikator transportasi online mengatur kapasitas dan waktu operasional.
Berikut beberapa aturan dalam Raperda yang ditargetkan rampung serta disahkan pada 13 Oktober 2020.
Dilarang berikan stigma kepada pasien dan tenaga medis
Dalam Pasal 18 Raperda DKI tentang Penanggulangan Covid-19 tertulis larangan memberi stigma terhadap pasien dan tenaga kesehatan yang membantu penanganan Covid-19.
"Setiap orang dilarang memberikan stigma negatif dan diskriminasi pada kasus positif, kontak erat, petugas kesehatan, dan petugas penunjang lainnya," dikutip dari Pasal 18 huruf e, Jumat (2/10/2020).
Kemudian, pasien terkonfirmasi positif Covid-19 juga dilarang menyembunyikan data pribadi atau bahkan memalsukan hasil pemeriksaannya.
"Setiap orang dilarang memalsukan hasil pemeriksaan dan menyembunyikan data pribadi pada kasus positif," bunyi Pasal 18 huruf f.
Raperda ini juga mengatur larangan bagi warga DKI untuk menolak tracing dan menghasut orang lain agar tidak mengikuti tes yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Warga dilarang tolak Tes PCR untuk Lacak Kasus Covid-19
Hal tersebut diatur dalam Pasal 18 huruf h yang tertulis bahwa warga dilarang menghasut orang lain agar tidak mengikuti tes Covid-19 dengan berbagai metode.
"Dilarang menghasut orang lain untuk tidak mengikuti reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) atau tes cepat molekuler (TCM), dan atau pemeriksaan penunjang lain sesuai pedoman yang berlaku," seperti dikutip dari Raperda, Sabtu (4/10/2020).
Baca juga: Raperda Covid-19 DKI, Warga Dilarang Menolak Jika Tracing dan Tes PCR
Kemudian pada Pasal 18 huruf j tertuang larangan menolak pemeriksaan untuk pelacakan kasus dan tidak diperkenankan menghindari upaya pengobatan, vaksinasi, atau intervensi kesehatan lainnya.
"Setiap orang dilarang menolak untuk dilakukan tracing. Lalu dilarang menimbun, memalsukan dan memperjualbelikan secara tidak sah obat, vaksin, dan alat kesehatan lainnya yang dibutuhkan dalam upaya penanggulangan Covid-19," tulis pasal 18 huruf j.
Dilarang ambil paksa jenazah dan sebar hoaks terkait Covid-19
Masih dalam pasal 18, terdapat larangan bagi warga untuk mengambil paksa jenazah Covid-19 walaupun berstatus suspek maupun probable.
"Dilarang mengambil paksa jenazah yang berstatus suspek, probable, atau konfirmasi dari fasilitas pelayanan kesehatan," dikutip dari Pasal 18 huruf l raperda.
Baca juga: Draf Raperda Covid-19, Warga DKI Dilarang Ambil Paksa Jenazah Covid-19
Kemudian, warga juga dilarang secara sadar dan dengan sengaja menyebarkan berita bohong dan menyesatkan mengenai pandemi Covid-19.
Dalam Pasal 18 huruf n, tertuang larangan penyalahgunaan data pribadi dari hasil kegiatan surveilans epidemiologi informatika.
"Dilarang menghalangi atau mengancam tenaga kesehatan dan petugas penunjang lainnya dalam melakukan tugas penanggulangan Covid-19."
Transportasi online wajib atur kapasitas hingga waktu operasional
Selain sejumlah larangan bagi warga selama pandemi, raperda juga mengatur kewajiban perusahaan transportasi daring melaksanakan sejumlah protokol perlindungan kesehatan masyarakat.
Dalam pasal 13 draf raperda itu tertulis:
"Pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, perusahaan aplikasi transportasi online, atau penanggung jawab moda transportasi wajib melaksanakan perlindungan kesehatan masyarakat."
Perlindungan yang dimaksud ialah membatasi kapasitas angkut sarana transportasi, pembatasan waktu operasional, dan manajemen kebutuhan lalu lintas.
Pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, perusahaan aplikasi transportasi online, atau penanggung jawab moda transportasi yang tidak menjalankan kewajiban tersebut dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Kendati demikian, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara, perusahaan aplikasi transportasi online, atau penanggung jawab moda transportasi yang mengulangi pelanggaran tersebut akan dibekukan, bahkan bisa dicabut izinnya.
"Sanksi administrasi dengan ketentuan denda administratif, pembekuan sementara izin, pencabutan izin," dikutip dari Pasal 13 angka 5.
Pemberian sanksi administratif dilakukan oleh Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.