TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com - Pasien positif maupun penyintas Covid-19 acapkali mendapat stigma buruk di masyarakat. Mereka dikucilkan dari lingkungannya karena dikhawatirkan menjadi pembawa virus yang bisa menular orang sekitar.
Akibatnya, banyak pasien positif tidak bisa menerima kondisinya ketika mereka dinyatakan terpapar Covid-19 dan diharuskan menjalani isolasi.
Kondisi seperti itu kerap ditemukan oleh Endang Prastini, seorang psikolog berusia 60 tahun yang kini menjadi relawan di pusat karantina milik pemerintah kota Tangerang Selatan, Rumah Lawan Covid-19.
Selama pandemi melanda wilayah Tangerang Selatan, Endang sibuk berhadapan dengan para pasien positif maupun penyintas Covid-19 yang mengalami penurunan mental atau terganggu psikisnya.
Baca juga: Cerita Dokter yang Tangani Pasien Covid-19, Rutin Saksikan Kematian hingga Tunggu Giliran Terpapar
"Saya menjadi relawan sejak April lalu. Yang saya lakukan memberikan motivasi, edukasi terhadap pasien bahwa mereka bisa sembuh," kata Endang, Kamis (22/10/2020).
"Karena kan rata-rata pasien, khususnya yang ada di tempat karantina itu psikisnya yang terkena," sambung dia.
Menurunnya mental yang dialami para pasien tentunya berdampak buruk pada kondisi kesehatan dan imunitas. Padahal, pembentukan imunitas menjadi kunci dalam proses penyembuhan pasien Covid-19.
Tanpa rasa takut terpapar virus corona tipe 2, Endang berupaya merawat kondisi kesehatan mental para pasien dengan menemui dan berkomunikasi secara langsung.
Baca juga: Cerita Istri Sebulan Merawat Suami yang Positif Covid-19 Tanpa Ikut Tertular...
Menggunakan alat pelindung diri (APD) mulai dari masker, sarung tangan hingga baju hazmat, Endang melakukan pendekatan dan memberikan konsultasi kepada para pasien seraya memotivasinya.
"Misalnya saya enggak bisa datang karena lagi di rumah saya via WA. Say Hello, tanyakan kabarnya, sudah makan belum," ungkap dia.
"Atau kalau malam sudah tidur belum, tadi siang makan apa, seperti itu. Jadi merasa diperhatikan," kata Endang.
Upaya itu dilakukan Endang untuk memberi perhatian dan menyemangati mereka. Sehingga bisa membangun kepercayaan pada diri pasien bahwa mereka bisa kembali pulih dari Covid-19.
"Kami harus bisa mencari, bagaimana sih membangun percaya diri akan sembuhnya ada. Saya terus mencari cara dan menjadikan kesulitan ini menjadi satu tantangan. Tapi Alhamdulillah, sekarang sudah tidak terlalu sulit," kata dia.
Endang mengaku tak pernah merasa khawatir terpapar Covid-19 meski kerap berkontak langsung saat memberikan konsultasi untuk para pasien positif.
Menurut Endang, dia selalu memastikan bahwa kelengkapan APD yang dipakainya ketika mendatangi tempat isolasi.
Kemudian, dia juga memposisikan dirinya seakan-akan seorang pasien yang sudah dinyatakan positif Covid-19 untuk mengenyampingkan kekhawatirannya.
Baca juga: Cerita Penyintas Covid-19: Gejala Mirip Demam Berdarah hingga Teriakan Minta Tolong
"Saya memposisikan diri bahwa saya positif Covid-19, jadi motivasinya seperti itu," kata dia.
Keberanian Endang berinteraksi dan merawat para pasien Covid-19 di tempat isolasi membuat heran sejumlah pihak, termasuk juga pasien yang sedang dirawatnya.
Endang menceritakan, terdapat seorang pasien yang kerap menangis karena merindukan keluarganya. Terlebih, ada anggota keluargaya yang meninggal dunia ketika pasien itu sedang menjalani karantina.
"Dia menangis, artinya kan dia ingin dipeluk ya. Saya peluk sampai dia tenang. 'Dia tanya kok Ibu mau peluk, emang enggak takut?'. Artinya kan orang selama ini takut sama dia," ungkapnya.
"Akhirnya saya peluk ketika itu, saya menggunakan APD. Saya bilang, saya hanya takut sama Allah, saya tidak takut sama virus," ucap Endang.
Pengalaman Endang menghadapi pasien Covid-19 tak sekadar mereka yang khawatir mendapat 'sanksi sosial' dari masyarakat sekitarnya
Tetapi juga pasien yang mengaku sudah tak lagi memiliki semangat sembuh dan berpikir untuk mengakhiri hidupnya karena paparan Covid-19.
"Bahkan pernah sampai ada yang mau bunuh diri. Pasien laki-laki, dia berpikirnya akan mati. Sudah tidak bisa hidup lagi besok, karena dia ada diabetes, terus penciumannya sudah tidak ada," tutur Endang.
Baca juga: Kisah Pilot Jadi Pedagang Mi Ayam Bertahan di Tengah Pandemi Covid-19
Dia tidak menceritakan secara detail bagaimana pasien itu hendak mengakhiri hidupnya ketika malam hari. Tetapi, saat mendapati hal itu, Endang langsung berupaya melakukan pendekatan dan membangkitkan semangat pasien tersebut.
Kala itu, Endang pun menemani dan mendengar cerita sang pasien sepanjang malam. Sesekali dia juga memotivasinya agar tidak menyerah untuk sembuh dari Covid-19.
Sampai akhirnya, pasien tersebut dirujuk ke rumah sakit karena memiliki komorbid dan kini yang bersangkutan sudah dinyatakan sembuh dari Covid-19.
Baca juga: Kisah Bayu, Bos Sound System yang Kini Jualan Sayur demi Bertahan di Tengah Pandemi
"Di sana saya juga terus mendukung, memberikan motivasi. sekarang dia sudah pulang, sudah di rumah. Tapi saya tetap berkomunikasi dengan dia," kata dia.
Sejak temuan itu, relawan psikolog ini pun memilih untuk lebih sering bertugas pada malam hari dan mengecek kondisi kesehatan mental para pasien.
"Kenapa saya lebih sering masuk malam, karena harus melihat yang seperti itu. Karena pada jam 1 malam itu pasien belum pada tidur, enggak mau tidur," ucap Endang.
Setelah hampir tujuh bulan menjadi relawan, Endang tak merasa lelah untuk membantu para pasien Covid-19 agar lekas sembuh.
Terlebih, apa yang dilakukannya selama ini mendapatkan dukungan penuh dari pihak keluarga maupun rekan-rekannya.
Tidak ada penolakan akan keputusannya menjadi relawan psikolog selama masa pandemi Covid-19 ini.
"Keluarga saya, mulai dari suami, anak, cucu saya semuanya mendukung. Setiap berangkat saya juga diantarkan oleh suami. Dia tahu kegiatan saya, bahkan sampai saya kunjungan ke rumah-rumah pasien," kata dia.
Baca juga: Kisah Junaedi, 15 Kali Gagal Lamar Kerja dan Jatuh Bangun Bangun Usaha di Tengah Pandemi Covid-19
Kondisi tersebut menjadi motivasi Endang untuk terus membantu proses penyembuhan dalam hal menjaga kondisi kesehatan mental pasien Covid-19.
Endang mengungkapkan yang dilakukannya ini menjadi bukti bahwa semua pihak bisa saling membantu di tengah wabah Covid-19 dengan kemampuannya masing-masing.
"Yang jelas kita tingkatkan motivasi mereka, diperbaiki dulu psikisnya, agar imun mereka juga semakin membaik. Bisa lebih cepat penyembuhannya. Justru kalau dia nge-down kan imunnya turun, kesian," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.