TANGERANG, KOMPAS.com - Masjid Jami Kalipasir merupakan masjid tertua di Kota Tangerang.
Salah satu pilar masjid yang berusia 445 tahun itu merupakan pemberian Sunan Kalijaga, salah satu tokoh agama Islam terkenal di Indonesia yang juga Wali Songo.
Penasihat DKM Masjid Jami Kalipasir Achmad Sjairodji (71) menyatakan, empat pilar yang berdiri kokoh di dalam masjid itu sama sekali tidak pernah direvitalisasi.
Sjairodji mengetahui salah satu pilar pemberian Sunan Kalijaga setelah membaca catatan sejarah.
"Yang sampai sekarang masih ada peninggalan sejarahnya adalah empat tiang penyangga ini," ujar Sjairodji, Rabu (21/4/2021).
Baca juga: Potret Toleransi dari Masjid Tertua di Tangerang
"Di dalam penjelasan menurut sejarah, bahwa satu di antaranya diberikan oleh Sunan Kalijaga," ucapnya.
Hingga 2018, kata dia, tidak ada yang mengetahui pilar mana yang merupakan pemberian Sunan Kalijaga.
Barulah pada 2018, sejumlah ulama berkumpul di masjid tersebut.
Mereka memperbincangkan perihal pilar yang diberikan Sunan Kalijaga.
Kata Sjairodji, ada salah satu ulama yang mengetuk pilar itu satu per satu menggunakan tangannya.
Ulama tersebut lantas mendengar suara yang berbeda dari salah satu pilar ketika diketuk.
Baca juga: Menelusuri Masjid Jami Tangkuban Perahu di Setiabudi
Ulama itu meyakini, pilar yang mengeluarkan suara berbeda adalah pemberian Sunan Kalijaga.
"Ini, pilar yang ada di kiri belakang yang adalah pemberian Sunan Kalijaga," ucap Sjairodji.
Sjairodji menambahkan, empat pilar itu sebenarnya tak memiliki arti khusus. Jumlah pilar yang ada pun juga tidak merepresentasikan apa pun.
Namun, ada yang menafsirkan empat pilar tersebut merepresentasikan sahabat Rasulullah SAW.
"Contoh, ini cuma contoh, ada orang mengatakan Khulafaur Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Ada yang mengartikan ke situ. Silakan menafsirkan ke situ, tapi pilar ini tidak punya makna," kata Sjairodji.
Masjid Jami Kalipasir ditetapkan sebagai masjid pada 1576.
Sebelum itu, Masjid Jami Kalipasir sudah difungsikan sebagai tempat ibadah sejak seratusan tahun sebelumnya, tepatnya pada 1412.
Saat itu, Sjairodji menjelaskan, seorang penyiar agama Islam bernama Ki Tengger Jati datang dari Kerajaan Galuh Kawali.
"Mereka datang kemari dengan tujuan untuk syiar Islam. Yang sebelumnya, dia mempelajari agama Islam kepada seorang guru yang bernama Syekh Syubakir," papar Sjairodji.
Saat Ki Tengger Jati tiba di Kota Tangerang, lahan di Kelurahan Sukasari, yang saat ini menjadi tempat berdirinya Masjid Jami Kalipasir, masih berupa hutan.
Baca juga: Sejarah Masjid Jami Kebon Jeruk, Saksi Bisu Penyebaran Islam dari Tiongkok
Penyiar agama Islam itu lantas membuat gubuk kecil untuk tempat tinggal dan juga tempat beribadah.
"Kurun waktu empat tahun, 1416, ini semakin diperbesar tempat ibadahnya," kata Sjairodji.
"Kenapa diperbesar? Ini pengaruh Sungai Cisadane, dulu namanya Sungai Cipamungkas. Ini (Sungai Cisasane) merupakan jalur transportasi," imbuh dia.
Karena Sungai Cisadane dilewati banyak orang, Masjid Jami Kalipasir yang persis di seberang sungai itu didatangi banyak pelancong.
Baca juga: Perpaduan Islam dan Indonesia di Setiap Lekuk Masjid Istiqlal...
Kata Sjairodji, banyak orang yang singgah dan menetap di masjid tersebut. Faktor itulah yang membuat masjid tersebut diperluas.
Kegiatan peribadatan terus berjalan di Masjid Jami Kalipasir, hingga pada 1445 ada seorang ulama dari Persia yang singgah di masjid tersebut.
Ulama besar itu bernama Said Hasan Ali Al-Husaini, atau lebih dikenal dengan nama Syekh Abdul Jalil.
"Tujuan asli beliau sebenarnya bukan ke sini, tapi ke daerah lain di Banten, tapi singgah di sini. Dengan kedatangan beliau di sini juga, masjid semakin diperbesar," tutur Sjairodji.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.