Pasar Tanah Abang terus semarak memasuki 1800-an. Pasar juga ikut buka di hari Rabu.
Baca juga: KRL Tak Berhenti di Tanah Abang, Dishub DKI Siapkan Bus Transjakarta Gratis Pukul 15.00-19.00
Keramaian pasar tak sejalan dengan perbaikan kualitas lingkungan.
Bangunan pasar makin lama kian rapuh dan kusam. Sampah-sampah menumpuk dan membuat semrawut.
“Sampai akhir abad ke-19 bahkan awal abad ke-20 Pasar Tanah Abang belum mempunyai bangunan permanen,” tulis PD Pasar Jaya.
Khawatir pedagang dan pembeli berkurang, pemerintah kolonial akhirnya merombak Pasar Tanah Abang secara besar-besaran pada Agustus 1926.
Bangunan lama nan rapuh berganti bangunan permanen. Lebih nyaman untuk aktivitas para pedagang dan pembeli. Lebih bagus pula untuk promosi nama Pasar Tanah Abang keluar Batavia dan Hindia Belanda.
Baca juga: Ramainya Tanah Abang dan Pusat Perbelanjaan serta Kekhawatiran akan Lonjakan Kasus Covid-19
Namun, kedatangan Jepang pada 1942 mengubah banyak hal di Pasar Tanah Abang.
“Pasar Tanah Abang yang tadinya kesohor tekstilnya, saat itu berubah menjadi los-los dan kios kosong melompong tidak ada tekstil sama sekali bahkan banyak yang tutup dan ditempati gelandangan,” cerita H.M. Hasan, pensiunan kepala pasar dalam Pasar Tanah Abang 250 Tahun.
Pasar Tanah Abang kembali memperoleh cerlangnya setelah sempat masuk tahun-tahun kegelapan selama masa Jepang hingga Revolusi Fisik (1945—1949).
Di bawah pengelolaan Pemerintah DKI Jakarta lewat Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya, Pasar Tanah Abang mengalami perombakan secara besar-besaran pada 1973. Pasar Tanah Abang menjadi bangunan bertingkat tiga.
Baca juga: Terkait Kerumunan di Pasar Tanah Abang, Epidemiolog: Representasi PPKM Tak Berhasil
Lama kelamaan, pemerintah mulai kehilangan kendali atas keamanan pasar. Mereka kemudian menyerahkan urusan keamanan pasar kepada para jago.
Jago-jago memperoleh banyak uang atas jasa keamanan, parkir, dan kebersihan dari para pedagang.
Tetapi lama-lama mereka tidak lagi melindungi para pedagang, melainkan memerasnya.
Perputaran uang di Pasar Tanah Abang pada 1990-an mencapai Rp8-10 miliar per hari. Para preman dari berbagai etnis dan wilayah berebut kendali atas Pasar Tanah Abang.
Puncaknya terjadi pada November—Desember 1996. Bentrok antarpreman di Pasar Tanah Abang meminta korban jiwa. Pedagang dan pembeli menghindari kawasan ini beberapa lama.