JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus Covid-19 di India tengah menjadi sorotan global sejak terjadi lonjakan kasus secara signifikan dalam sebulan terakhir.
Awal Mei ini, India mencatatkan rekor kenaikan harian kasus Covid-19 mencapai 401.993 kasus baru. Ini adalah pertama kalinya jumlah kasus harian Covid-19 di India mencapai 400.000 kasus, setelah selama 10 hari berturut-turut mencatatkan infeksi harian 300.000 kasus.
Bahkan, kematian akibat Covid-19 di India juga melonjak menjadi 3.523 kasus selama 24 jam terakhir. Penambahan ribuan kasus kematian itu menyebabkan krematorium tidak sanggup menampung semua jenazah.
Baca juga: Mobilitas Warga Mudik ke Luar Jakarta Meningkat, Puluhan Ribu Orang Sudah Tinggalkan Jakarta
Krematorium kehabisan tempat untuk melakukan kremasi, membuat banyak pasien harus antre demi memberi penguburan yang layak untuk anggota keluarga yang meninggal karena Covid-19.
Selain itu, banyak warga sekarat tanpa mendapatkan bantuan karena pasokan tempat tidur, oksigen, dan tenaga medis yang terbatas. Beberapa pasien Covid-19 meninggal di ruang tunggu atau di luar klinik.
Mutasi virus corona di India dipercaya turut berkontribusi pada munculnya gelombang kedua Covid-19 yang jauh lebih parah dibanding gelombang pertama.
Varian yang dikenal sebagai B.1.617 ini memiliki dua mutasi yang "tidak biasa" yakni E484Q dan L425R. Mereka juga dikenal sebagai "double mutant" atau mutasi ganda.
Kasus Covid-19 di India pun menjadi alarm bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, untuk lebih waspada terhadap penularan virus corona sekaligus sebagai pengingat agar masyarakat tak abai terhadap protokol kesehatan.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut, ada dua kasus Covid-19 di Indonesia akibat penularan virus varian mutasi dari India. Dua kasus tersebut ditemukan di DKI Jakarta.
Untuk mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19 seperti di India, pemerintah kemudian menetapkan larangan mudik lebaran 2021 mulai 6-17 Mei 2021. Artinya, warga dilarang mudik atau bepergian ke luar kota pada periode tersebut guna meminimalisir penularan Covid-19.
Baca juga: PPKM Mikro Jakarta Diperpanjang, Kadinkes: Kasus Aktif Masih Fluktuatif
Pemerintah juga memberlakukan pengetatan persyaratan pelaku perjalanan dalam negeri (PPDN) yang berlaku 22 April-5 Mei dan 18-24 Mei 2021. Pada periode tersebut, warga masih diperbolehkan untuk keluar kota dengan melampirkan hasil tes Covid-19.
Penetapan larangan mudik itu bukan tanpa sebab. Momen libur panjang memang selalu berdampak pada lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia, khususnya wilayah DKI Jakarta.
Sejak kemunculan kasus pertama Covid-19 di Indonesia pada Maret 2020 lalu, setidaknya tercatat empat kali momen libur panjang atau cuti bersama yang berdampak pada peningkatan kasus Covid-19.
Libur panjang yang pertama adalah cuti bersama Hari Raya Idul Fitri pada bulan Mei 2020. Momen libur panjang tersebut berdampak pada kenaikan kasus Covid-19 pada bulan Juni 2020.
Padahal, sama seperti tahun ini, pemerintah juga memutuskan melarang mudik untuk mengendalikan mobilitas masyarakat saat libur panjang Hari Raya Idul Fitri.
Namun, larangan mudik itu tak mampu menekan angka penyebaran Covid-19.
Baca juga: Hanya Orang-orang Ini yang Boleh Dapat SIKM di Jakarta
Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19, Dewi Nur Aisyah kala iu mengatakan, momen libur panjang Hari Raya Idul Ftiri telah menyebabkan peningkatan kasus sebesar 70 sampai 90 persen.
Momen libur panjang Idul Fitri 2020 juga meningkatkan jumlah akumulatif kasus mingguan Covid-19 sebanyak 69 sampai 93 persen. Kenaikan kasus Covid-19 tersebut mulai terlihat sejak 6 Juni hingga akhir Juni 2020.
Momen libur panjang kedua terjadi pada Agustus 2020 yakni libur Hari Kemerdekaan RI dan libur panjang sejak 20 sampai 23 Agustus 2020 dalam memperingati Tahun Baru Islam 1442 H.
Akibat libur panjang tersebut, tercatat kenaikan kasus Covid-19 secara signifikan pada pekan pertama bulan September 2020. Jumlah akumulatif kasus mingguan Covid-19 di Jakarta pada pekan pertama bulan September naik menjadi 30.000 kasus.
Baca juga: Depok Berlakukan SIKM selama Larangan Mudik, Begini Cara Membuatnya
Padahal pada bulan Agustus, jumlah akumulatif kasus mingguan Covid-19 adalah 13.000 kasus.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bahkan memutuskan menarik rem darurat dan kembali menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diperketat.
Libur panjang selanjutnya adalah memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 28 Oktober hingga 1 November 2020.
Kenaikan kasus Covid-19 baru terlihat tiga pekan pasca libur panjang Maulid Nabi Muhammad SAW. Khusus wilayah Jakarta, Anies menjelaskan, kasus aktif tertinggi terjadi pada September dan mulai menurun pada Oktober hingga awal November.
Namun, kasus aktif Covid-19 kembali meningkat pada pekan ketiga November, yang semula berada di bawah garis grafik 8.000 kasus aktif, kemudian kembali sejajar di angka 8.000 kasus aktif.
Baca juga: Idul Fitri 2021, Anies Pertimbangkan Izinkan Shalat Id di Area Terbuka
Libur panjang juga berdampak pada keterisian Wisma Atlet. Meskipun begitu, Anies memutuskan tetap memberlakukan PSBB transisi.
Momen libur panjang yang terakhir adalah Natal dan Tahun Baru 2021. Pasca libur panjang Natal dan Tahun Baru 2021, DKI Jakarta mencatat penambahan 2.402 kasus baru pada 6 Januari 2021.
Jumlah tersebut memecahkan rekor sejak awal kasus Covid-19 pada Maret 2020.
Selain itu, Dinas Kesehatan DKI Jakarta juga mencatat ada 67 klaster keluarga pasca libur Natal dan Tahun Baru 2021. Mayoritas klaster keluarga tersebut memiliki riwayat perjalanan keluar Jakarta.
Lonjakan kasus tersebut menyebabkan keterisian tempat tidur isolasi dan ICU di rumah sakit rujukan di Jakarta menjadi penuh.
Baca juga: Imbas Penutupan Stasiun Tanah Abang, Terjadi Lonjakan Penumpang di Stasiun Palmerah
Berdasarkan data 5 Januari 2021, sebanyak 6.389 dari 7.447 tempat tidur isolasi telah terisi. Artinya, keterisian tempat tidur isolasi mencapai 86 persen.
Sementara itu, sebanyak 783 dari 953 tempat tidur ICU telah digunakan, dengan keterisian mencapai 81 persen.
Diberitakan Kompas.com pada 23 April 2021, Ahli Epidemiologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Riris Andono Ahmad mengatakan kemungkinan terjadinya peningkatan kasus Covid-19 meski pemerintah telah melarang mudik.
Menurut Riris, peluang penyebaran Covid-19 menjadi sangat besar ketika tidak ada pembatasan atau larangan mobilitas masyarakat.
"Jadi mau mudik atau tidak mudik pasti akan terjadi peningkatan kasus karena sudah ada transmisi, banyak peningkatan kasus," jelas Riris, (23/4/2021).
Baca juga: Anies: Kami Anjurkan Warga Datangi Pasar di Jakarta, Selain Tanah Abang
Oleh karena itu, Riris berharap kebijakan larangan mudik dibarengi dengan pembatasan mobilitas masyarakat. Sebab, masyarakat masih bisa memanfaatkan momen Lebaran untuk ajang silahturahmi atau halal bihalal meski mudik telah dilarang.
"Bukan berarti lalu mudik tidak mudik tidak ada efeknya. Ada efeknya, tetapi mudik dilarang pun kalau mobilitas tidak dilarang maka peningkatan kasus itu jadi sebuah keniscayaan," urai Riris.
Dia pun meminta masyarakat tetap disiplin menerapkan protokol kesehatan Covid-19. Sementara itu, pemerintah diminta untuk tegas dan konsisten dalam menegakkan aturan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.