JAKARTA, KOMPAS.com - Pada 3 Mei 2021, Co-Founder Transport for Jakarta Adriansyah Yasin Sulaeman menulis sebuah kicauan di akun Twitter-nya yang dilihat aneh oleh sebagian orang.
Isi twitnya seperti ini:
"Jakarta: surga bagi foto drone dan mobil, neraka bagi manusia. Ketika kota kita dibentuk hanya untuk terlihat ‘cakep’ dari shot drone, beginilah hasilnya. Coba kita ambil sudut pandang manusia dari foto ini, mau nyebrang jalan saja butuh perjuangan mematikan," demikian kicauan yang ditulis melalui akun Twitter-nya, @adriansyahyasin.
Dalam kicauan tersebut, Yasin mengunggah empat foto yang masing-masing menampilkan Simpang Susun Semanggi, Simpang Susun Tol Desari, Flyover Pancoran-Tendean, dan Flyover Kemayoran.
Kicauan Yasin tersebut memunculkan kebingungan bagi sebagian orang.
Ada yang mempertanyakan alasan harus menyeberang di ruas Tol JORR dan Tol Dalam Kota yang jelas-jelas dilarang dan sangat berbahaya.
Orang yang mungkin sangat jarang berjalan kaki dan beraktivitas dengan transportasi umum mungkin akan gagal paham dengan kicauan Yasin.
Namun, tidak demikian dengan mereka yang rutin harus berjalan kaki dan menggunakan transportasi umum.
Kicauan Yasin sebenarnya bukan mengajak orang untuk menyeberang di tol.
Tetapi, Yasin mencoba menggambarkan situasi yang sering dihadapi orang-orang yang bukan pengguna kendaraan bermotor.
Jakarta: surga bagi foto drone dan mobil, neraka bagi manusia
Ketika kota kita dibentuk hanya untuk terlihat ‘cakep’ dari shot drone, beginilah hasilnya. Coba kita ambil sudut pandang manusia dari foto ini, mau nyebrang jalan saja butuh perjuangan mematikan pic.twitter.com/a4Kl7VMNYb
— Adriansyah Yasin Sulaeman (@adriansyahyasin) May 3, 2021
Mungkin kita sudah terlalu sering mendengar keluhan mengenai betapa tidak menyenangkannya berjalan kaki di Jakarta, atau Jabodetabek secara umum jika kita ingin mengambil ruang lingkup yang lebih luas.
Pada Agustus 2017, The New York Times pernah menulis sebuah artikel berjudul "Jakarta, the City Where Nobody Wants to Walk", sebuah gambaran betapa buruknya nasib pejalan kaki di Ibu Kota.
Dari trotoar rusak, trotoar yang terlalu banyak tiang listrik, trotoar yang diokupasi oleh pedagang kaki lima (PKL), tukang ojek, dan parkir liar, hingga trotoar yang dibajak pengguna sepeda motor adalah sederet penyebab yang mungkin membuat kita malas untuk berjalan kaki di Jakarta.
Namun, pernahkah kita sadar jika ada faktor lain yang lebih penting, yakni kebijakan otoritas terkait dan diperparah dengan rancang kota yang salah.
Paris kalo yang ngedesain kotanya orang atau developer Indonesia: pic.twitter.com/gJjM6tMcjn
— Adriansyah Yasin Sulaeman (@adriansyahyasin) September 3, 2020
Disadari atau tidak, kebijakan otoritas terkait rancang kota Jakarta sudah sejak lama terlalu mengakomodasi pengguna kendaraan bermotor pribadi ketimbang para manusia yang tidak mengandalkan kendaraan bermesin, seperti pejalan kaki, pesepeda, pengguna transportasi umum, atau bahkan pedagang gerobak keliling.
"Bertahun-tahun paradigma mobilitas kita dicekoki dengan konsep car-oriented development membuat infrastruktur perkotaan didominasi untuk penggunaan motor dan mobil," tulis Yasin dalam sebuah kicauan lainnya.
Baca juga: Tak Ada Masalah Prinsip, Tol Layang JORR Bisa Segera Dibangun
Sebagai seseorang yang pernah hidup di Belanda, Yasin tentunya bisa membandingkan posisi sebagai pejalan kaki di Jakarta dengan kota-kota di negara maju.
Di kota-kota di banyak negara maju, misalnya di Eropa ataupun di Jepang, mobilitas pejalan kaki dibuat senyaman mungkin.
Untuk sekadar menyeberang mereka tak perlu harus bersusah payah naik turun tangga jembatan penyeberangan orang (JPO), tapi pengguna kendaraan bermotor yang harus menghentikan sejenak laju kendaraannya untuk memberikan kesempatan pejalan kaki melintas.
View this post on Instagram
Pada suatu siang di akhir 2019, Coki berencana ingin istirahat makan siang di Cilandak Town Square.
Lokasi kantornya ada di Menara 165 yang letaknya relatif tidak jauh dari Citos, nama keren Cilandak Town Square.
Baik Citos maupun Menara 165 sama-sama berlokasi di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan.
Jarak kedua tempat tersebut kurang lebih hanya sekitar 1 kilometer. Relatif dekat sebenarnya bagi Coki jika ingin berjalan kaki.
Namun, keinginannya untuk berjalan kaki ke Citos tak bisa dilakukan karena tak ada akses pejalan kaki yang nyaman sebagai penghubung kedua lokasi tersebut.
Alhasil, Coki harus memanggil ojek daring untuk perjalanan yang jaraknya sebenarnya sangatlah dekat itu.
Coki pernah mencoba untuk berjalan kaki dari Menara 165 ke Citos. Tapi ia harus melakukannnya dengan perjuangan yang sangat melelahkan dan sangat tidak efisien dibanding naik kendaraan bermotor.
"Harus muter jauh sekali. Belok kanan dulu (ke Jalan Antasari) terus naik jembatan penyeberangan terus lewat jalan kampung, muter lagi," kata Coki pada suatu ketika kepada Kompas.com.
Penasaran dengan cerita Coki, Kompas.com mencoba untuk melakukan hal yang sama.
Ternyata benar, kendati jaraknya dekat, berjalan kaki dari Menara 165 ke Citos benar-benar sangat melelahkan.
Pertama-tama, kita harus melalui trotoar yang kondisinya tak terlalu baik dan relatif sempit dari depan Menara 165 hingga ke depan Gedung Ratu Prabu 2.
Setelah melewati Gedung Ratu Prabu 2, kita akan mendapati trotoar dengan lebar hanya sekitar satu meter di pinggir lahan kosong yang masih berupa rawa-rawa.
Trotoar di pinggir lahan kosong yang harus dilintasi cukup panjang. Mungkin ada sekitar 1 kilometer, tepatnya di sepanjang pinggir tikungan ruas lalu lintas kendaraan dari Antasari yang hendak mengarah ke Ranco.
Karena di pinggir lahan kosong, ada rasa waswas saat melintasi trotoar. Suasananya tentu berbeda dengan trotoar di depan gedung aktif yang biasa rutin dijaga petugas keamanan.
Di trotoar pinggir lahan kosong, kita tentu tak bisa berbuat banyak jika ada pelaku kejahatan bermotor yang tiba-tiba datang merampok.
Kembali ke soal perjalanan berjalan kaki dari Menara 165 ke Citos, setelah berjalan sekitar 1 kilometer barulah kita akan menemukan sebuah JPO di depan SDN Cilandak Barat 15 Pagi.
JPO terpantau memiliki 35 anak tangga di kedua sisi dan panjangnya mencapai sekitar 20 meter.
Dari JPO, perjalanan dilanjutkan dengan melintasi trotoar hingga depan Alamanda Tower.
Setelah melewati Alamanda Tower barulah kita menemukan kembali trotoar di depan gedung-gedung aktif hingga akhirnya sampai di Citos.
Dari percobaan yang dilakukan Kompas.com, berjalan kaki dari Menara 165 ke Citos memakan waktu hampir 30 menit untuk jarak hampir dua kilometer.
Di sisi lain, jika menggunakan sepeda motor melewati perempatan Fatmawati, waktu yang dihabiskan hanya sekitar lima menit jika tidak macet.
Tak hanya dari Menara 165, tak efisiensinya berjalan kaki juga terjadi jika kita ingin menyeberang ke deretan gedung-gedung yang ada di seberang Citos, misalnya ke toko buah dan sayur All Fresh.
Baik Citos dan All Fresh adalah dua gedung yang saling berhadapan. Namun, terpisah oleh ruas Tol JORR.
Dari percobaan yang dilakukan Kompas.com, sekadar berjalan kaki dari Citos ke All Fresh bahkan bisa menghabiskan waktu 15-20 menit karena harus memutar melewati JPO depan Midtown Residence
JPO memiliki panjang hampir 50 meter dan memiliki 53 anak tangga di kedua sisi.
Sementara itu, jika naik sepeda motor hanya perlu tiga menit via putaran balik depan sekolah High Scope.
Jalan TB Simatupang mungkin hanya satu dari sekian banyak ruas jalan di Jakarta yang sangat tidak ramah untuk pejalan kaki.
Kasus seperti di Jalan TB Simatupang mungkin juga banyak ditemukan di Jalan Gatot Subroto, salah satunya seperti yang pernah dialami Sinta.
Pada suatu ketika, Sinta pernah harus memesan taksi hanya gara-gara tak bisa menemukan tempat menyeberang yang nyaman dan cepat setelah turun dari bus transjakarta di ruas Jalan Gatot Subroto arah Semanggi, tepatnya di halte depan Museum Satriamandala.
Saat itu, ia ada urusan ke salah satu kantor yang berlokasi di Centennial Tower.
Museum Satriamandala dan Centennial Tower adalah dua lokasi di Jalan Gatot Subroto yang saling berhadapan tapi terpisah oleh Tol Dalam Kota.
Keberadaan Tol Dalam Kota tentunya tak memungkinkan penyeberangan langsung dalam bentuk pelican crossing ataupun zebra cross.
Selain tak memungkinkan adanya penyeberangan langsung, Halte Museum Satriamandala juga relatif jauh dari JPO terdekat.
"Karena bingung harus nyeberang di mana dan jalan ke arah mana, akhirnya saya pilih naik taksi," kata Sinta kepada Kompas.com.