"Belum ada kabar. Belum tahu dipindah atau ganti rugi atau gimana," kata Aput saat ditemui di bantaran Kali Ciliwung, Senin.
Aput hanya berserah kepada pemerintah soal keputusan terbaik.
"Apa yang dikehendaki pemerintah, kami sebagai warga menaati peraturan pemerintah," ujar dia.
Namun, Aput berharap, keputusan atau peraturan pemerintah nantinya juga harus menimbang aspek hak asasi manusia (HAM).
"Kalau banjir, kami nggak mengharapkan sembako, tetapi mengharapkan hati," kata Aput sembari tertawa.
Pembebasan lahan terkait proyek normalisasi Kali Ciliwung menemui kendala pembebasan lahan. Hal seperti itu misalnya terjadi di wilayah Bidara Cina, Jatinegara pada proyek pembangunan sodetan yang akan menghubungkan Sungai Ciliwung ke Kanal Banjir Timur (LBT).
Penetapan lokasi (penlok) proyek sodetan berpindah dari semula di RW 04 ke RW 05.
Yusmada Faizal tidak menampik, penlok proyek yang sempat terhenti pada 2015 itu berpindah karena masalah lahan.
"Ada persoalan lahan sehingga Kementerian (PUPR) memindahkan lokasi," kata Yusmada saat ditemui di Cipinang Melayu, Senin malam.
Namun, ia tidak merinci masalah lahan yang berakibat penlok dipindah. Yusmada hanya mengatakan, proses pengerjaan normalisasi di Bidara Cina kini sudah dilakukan.
"Sudah dalam pelaksanaan oleh Kementerian PUPR. Pengerjaan menggunakan APBN," kata dia.
Sementara untuk kasus banjir di Cipinang Melayu, Pemprov DKI Jakarta memaksimal penahan air, yakni berupa Waduk Tiu yang berada di Kecamatan Cipayung.
Aliran Kali Sunter ditahan di waduk itu agar tidak meluap di saluran penghubung (PHB) Sulaeman yang berada di wilayah RW 03 dan 04 Cipinang Melayu.
Baca juga: 10 Posko Pengungsian Disiapkan bagi Korban Banjir di Kampung Melayu
Menjelang musim hujan, Pemkot Jakarta Timur sebenarnya sudah mengeruk dan menyodet Waduk Tiu.
"Alat berat ada tiga, semuanya berfungsi dengan baik. Selain pengerukan, ada pembuatan sodetan dengan panjang 13 meter dari Waduk Tiu ke Kali Cipinang menuju Kali Sunter," ujar Wali Kota Jakarta Timur, M Anwar, pada 15 September lalu.