JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam beberapa waktu belakangan, terungkap dua kali praktik jual beli kamar di dalam penjara, yakni di Lapas Kelas I Cipinang, Jakarta Timur, dan Lapas Kelas I Tangerang, Kota Tangerang.
Narapidana di kedua lapas itu mengaku harus membayar uang kepada untuk bisa mendapatkan alas tidur dan kamar. Tarifnya mencapai jutaan rupiah.
Baca juga: Trik Supermarket Nakal Raup Untung dari Kelangkaan Minyak Goreng, Bikin Emak-Emak Pusing
Terungkapnya praktik jual beli kamar di Lapas Cipinang berasal dari pengakuan WC, seorang napi yang tengah menjalani hukuman disana. WC mengatakan, ia dan sesama narapidana harus membayar uang Rp 30.000 per minggu agar dapat tidur beralaskan kardus.
Bersamaan dengan itu, foto-foto beberapa narapidana tidur beralaskan kardus disebar dan muncul dalam berita-berita.
"Besarnya tergantung tempat tidur yang dibeli. Kalau tidur di lorong dekat pot dengan alas kardus, itu Rp 30.000 per satu minggu. Istilahnya beli tempat," kata WC kepada wartawan, Kamis (3/2/2022).
Baca juga: Nyanyian Napi Lapas Cipinang soal Praktik Jual Beli Kamar dari Balik Jeruji
Kalau untuk tidur di kamar yang lebih mahal, sebut WC, harganya antara Rp 5 hingga 25 juta per bulan.
"Biasanya mereka yang dapat kamar itu bandar narkoba besar. Nanti duitnya diserahkan dari ke sipir, di sini seperti itu," sambungnya.
Menurut WC, kasus jual beli kamar di Lapas Cipinang memang sudah sejak lama terjadi hingga menjadi "pemasukan sampingan" oknum petugas di lapas.
"Mau enggak mau, kami harus bayar buat tidur. Minta duit ke keluarga di luar untuk dikirim ke sini. Kalau enggak punya duit ya susah. Makanya yang makmur di sini napi bandar narkoba," tutur WC.
Baca juga: Aturan Lengkap PPKM Level 3 di Jakarta dan Bodetabek
Tak hanya praktik jual beli kamar, WC juga mengungkap para narapidana yang bisa memiliki telepon seluler atau handphone (HP) di dalam lapas asalkan membayar sejumlah uang kepada petugas.
Besaran dananya bervariasi, dari Rp 1,5 juta sampai Rp 2 juta.
"Nanti setelah handphone masuk juga enggak langsung keluarga yang kasih. Dikasih dulu ke tahanan pendamping baru ke napinya. Intinya uang tutup mata petugas,” ujar WC.
Ia menyebut, mayoritas pemilik telepon seluler di lapas adalah napi bandar narkoba dengan masa tahanan di atas lima tahun. WC menyebutkan, para bandar itu butuh telepon untuk menjalankan bisnis mereka dari dalam tahanan.
“Sebenarnya ini rahasia umum untuk orang yang pernah dipenjara. Apalagi untuk bandar narkoba besar,” kata WC.
Baca juga: Bandar Narkoba Disebut Kendalikan Bisnis dari Lapas Cipinang, Napi: Sudah Jadi Rahasia Umum
Namun, "nyanyian" WC itu semuanya dibantah oleh Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham DKI Jakarta Ibnu Chuldun.
Ibnu menegaskan, tidak ada narapidana yang tidur beralaskan kardus. Sebab, semua narapidana sudah disediakan matras untuk tidur.
"Tidak ada pungutan biaya apa pun untuk alas tidur," kata Ibnu, Jumat (4/2/2022).
Ihwal narapidana memiliki ponsel hingga mengendalikan bisnis narkoba dari balik jeruji juga dibantah.
“Informasi ini tidak benar,” ujar Ibnu.
Baca juga: Napi Diduga Bisa Pegang HP di Lapas Cipinang dengan Membayar Petugas, Kemenkumham: Tidak Benar
Sementara itu, Kepala Lapas Cipinang Tonny Nainggolan mengakui bahwa lapas yang dipimpinnya over kapasitas. Lapas Cipinang diisi 3.206 napi, sedangkan daya tampungnya hanya 880.
Namun Tony memastikan hal itu tidak lantas melahirkan praktik jual beli kamar di dalam lapas. Ia menyebut, foto-foto yang menunjukkan napi tidur beralas kardus juga bukan berasal dari Lapas Cipinang.
"Foto tempat yang menjadi objek dalam pemberitaan itu, sudah kami telusuri dan kami tidak menemukan objek dan orang di dalam foto tersebut," ujar Tony.
Baca juga: Kalapas Cipinang Akan Tindak Sipir yang Ketahuan Jual Kamar ke Napi
Sementara itu, praktik jual beli kamari di Lapas Tangerang terungkap bermula dari kejadian kebakaran di Lapas itu yang menewaskan sejumlah napi.
Dalam sidang kasus kebakaran Lapas Tangerang, Selasa (8/2/2022) kemarin, seorang narapidana mengaku dimintai duit sebesar Rp 5.000 per minggu untuk bisa tidur di aula Blok C2 Lapas Tangerang.
Narapidana yang dihadirkan sebagai saksi itu bernama Ryan Santoso. Dia memberikan kesaksian secara virtual dari Lapas Kelas I Tangerang.
Baca juga: Pengakuan Napi Lapas Tangerang, Bayar Rp 5.000 Per Minggu untuk Tidur di Aula, Rp 2 Juta di Kamar
Awalnya majelis hakim menanyakan proses Ryan dapat mendekam di aula Blok C2.
Ryan menjawab, dia ditempatkan di aula bukan atas keinginannya.
"Kenapa enggak di kamar?" tanya majelis hakim saat sidang.
"Itu enggak bisa, Pak, sudah ada penghuninya juga," jawab Ryan.
"Yang di kamar prosesnya gimana?" tanya majelis hakim.
"Ya masuk kamar bayar juga, orang lama," kata Ryan.
"Orang-orang masuk ke aula?" majelis hakim kembali bertanya.
"Ya bayarlah, enggak tahu juga," ujar Ryan.
"Di aula bayar?" tanya majelis hakim.
"Seminggu Rp 5.000," tutur Ryan.
Baca juga: Fakta Lapas Tangerang Terbakar, Narapidana Menunggu 25 Menit Sebelum Pintu Blok Dibuka
Saat majelis hakim menanyakan peruntukan uang tersebut, Ryan mengatakan bahwa uang itu untuk biaya kebersihan.
Majelis hakim lalu bertanya apakah tak ada narapidana yang membersihkan ruang tahanan.
"Ada tamping yang bersih-bersih," ungkap Ryan.
Majelis hakim lalu bertanya, berapa uang yang dikeluarkan oleh narapidana untuk membayar kamar di Blok C2.
"Ada yang bayar Rp 2 juta, ada yang Rp 1 juta," beber Ryan.
"(Bayaran itu) seterusnya sampai pulang. Sekali bayar saja," sambungnya.
Baca juga: Kesaksian saat Sidang, Sudah 4 Tahun Jaringan Listrik di Lapas Tangerang Belum Diganti
Ryan tak mengetahui apakah terdapat perbedaan fasilitas yang didapat di kamar dan aula Blok C2. Sebab, kata dia, pintu kamar di Blok C2 ditutup rapat menggunakan tripleks.
"Ditutup, Pak, rapat," kata Ryan kepada majelis hakim.
Majelis hakim bertanya lebih lanjut berkait kamar yang disebut diperjualbelikan itu.
"Penjara bukan? Bukan jeruji besi? "Kalau di aula? Aula terbuka?" tanya majelis hakim.
Saat itu juga, jaringan antara PN Tangerang dan Lapas Kelas I Tangerang terputus.
Tak lama kemudian, jaringan kembali normal dan pihak yang bertanya kepada Ryan adalah jaksa penuntut umum.
Pertanyaan berkait jual beli kamar kemudian berakhir. Ryan tak menjelaskan uang itu diberikan kepada siapa.
Sementara empat terdakwa kasus kebakaran itu menyatakan tidak berkeberatan atas kesaksian para saksi dalam persidangan.
Keempat terdakwa yakni Suparto, Rusmanto, Yoga Wido Nugroho, dan Panahan Butar Butar, yang merupakan petugas Lapas Kelas I Tangerang.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebutkan, transaksional ilegal di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) bukan hal yang baru.
Bahkan praktik jual beli di lapas itu tak hanya berkaitan dengan soal kamar dan alas tidur, tetapi juga banyak hal lainnya.
"Bukan sekali dua kali saja publik mendengar kabar adanya praktik jual beli kamar, makanan, minuman, jam mandi, dan semacamnya di dalam lapas," ujar Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu, Minggu (6/2/2022).
Baca juga: Napi Lapas Cipinang Ungkap Praktik Jual Beli Kamar dari Balik Jeruji, ICJR: Praktik Menahun
ICJR jelas mengamini adanya praktik-praktik tersebut di dalam lapas.
"Ini terus berlangsung selama menahun, sejalan dengan kondisi buruk dalam lapas dan rutan di Indonesia," kata Erasmus.
Kondisi lapas dan rutan yang sesak dan overcrowding, lanjut Erasmus, membuat hak dasar, misalnya tempat tidur yang layak pun menjadi dapat diperdagangkan.
Hal sama juga diungkapkan peneliti ICJR yang fokus tentang lapas, Maidina Rahmawati. Ia menilai overkapasitas lapas saat ini menjadi masalah utama yang perlu diatasi.
"ICJR sendiri concern-nya selalu ke permasalahan overcrowding, karena kondisi yang ada saat ini tidak ideal, untuk pengawasan dan fasilitas juga nggak bisa maksimal," ujar Maidina.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.