Asimetrisme desentralisasi terasa urgensinya untuk dikembangkan manakala kita berani untuk memahami dan mengembangkan sistem pemerintahan secara kontekstual (Santoso, 2012).
Baca juga: Merancang Masa Depan Jakarta
Penelitian yang dilakukan JPP UGM (2010) menyebutkan ada lima alasan penerapan desentralisasi asimetris.
Pertama, pertimbangan konflik dan separatisme seperti Aceh dan Papua.
Kedua, karena status ibu kota negara selayaknya Jakarta selama ini. Ketiga, faktor kesejarahan seperti Yogyakarta.
Alasan keempat dan kelima belum pernah diterapkan di Indonesia, yaitu sebagai daerah perbatasan negara dan pusat pengembangan ekonomi.
Jakarta akan menjadi daerah khusus pertama yang mendapatkan asimetrisme dengan pertimbangan sebagai pusat ekonomi nasional.
Dengan kontribusi terhadap PDRB sebesar 17,23 persen tidak bisa dipungkiri bahwa Jakarta akan tetap strategis dalam ekonomi nasional.
Jika sudah ditetapkan sebagai daerah khusus ekonomi, maka pertanyaan selanjutnya kekhususan apa yang akan didapat Jakarta?
Momentum revisi undang-undang desentralisasi asimetris bagi Jakarta ini harus dimanfaatkan dengan baik. Format pengaturannya tidak bisa salin tempel dari regulasi sebelumnya.
Sebagian klausul layak untuk dipertahankan. Sebut saja soal otonomi tunggal di tingkat provinsi.
Sehingga kota dan kabupaten di Jakarta tetap bersifat administratif, bukan daerah otonom. Mengapa ini penting dipertahankan?
Sebagai daerah otonom, setiap kota dan kabupaten memiliki keleluasaan mengatur daerahnya. Padahal, kota-kota di Jakarta saling terhubung dan memiliki eksternalitas lintas wilayah.
Maka sudah tepat kota dan kabupaten hanya ditempatkan sebagai perangkat daerah provinsi di bawah kendali gubernur sepenuhnya.
Selain soal otonomi tunggal, beberapa pengaturan di UU 29/2007 perlu dieavaluasi. Salah satunya soal jenjang administrasi pemerintah kewilayahan.
Saat ini, ada empat tingkat wilayah administrasi pemerintahan di Jakarta, mulai dari kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten administrasi dan provinsi.