Prostitusi di Jakarta sebelum diadakannya kebijakan lokalisasi menimbulkan beberapa permasalahan turunan seperti penyebaran penyakit menular seksual, perdagangan anak, peredaran narkotika, hingga potensi konflik antar-anggota masyarakat.
Meski sempat ditempuh oleh Pemerintah di beberapa daerah di Indonesia, namun kebijakan lokalisasi yang tidak populis di tengah masyarakat berangsur-angsur ditinggalkan oleh Pemerintah.
Kini kita dapat melihat berdirinya pusat keagaman di lokasi yang sebelumnya menjadi pusat prostitusi sebagai bukti bahwa Pemerintah setempat mengalihkan keberpihakan dari kebijakan lokalisasi, seperti Jakarta Islamic Center di Kramat Tunggak dan Masjid di Saritem Bandung.
Pengalihan kebijakan lokalisasi sebagai alternatif pengendalian prostitusi di Indonesia juga diikuti dengan gencarnya kebijakan represif Pemerintah dalam pemberantasan prostitusi sebagai penyakit sosial.
Meski kini kita sering melihat atau mendengar upaya pemberantasan prostitusi melalui sidak yang dilakukan aparat penegak hukum, namun nyatanya hal tersebut tidak mengurangi jumlah layanan jasa seksual yang kini telah bertansformasi melalui layanan daring.
Instrumen penindakan terhadap praktik prostitusi di Indonesia boleh dinilai sangat lengkap dan jauh dari kata kekuarangan.
Mulai dari ketentuan-ketentuan di dalam KUHP yang menilai penyediaan jasa prostitusi sebagai tindakan kriminal, Undang-undang Pornografi, hingga Undang-undang ITE merupakan contoh dari lengkapnya amunisi Pemerintah dalam menindak salah satu penyakit sosial ini.
Terlebih di dalam KUHP yang baru saja disahkan, ketentuan mengenai penyedia jasa prostitusi mengalami kenaikan sanksi pidana dari ketentuan sebelumnya.
Beragamnya instrumen pidana yang membekali upaya represif pemerintah pada kenyataanya tidak berbanding lurus dengan pengurangan jumlah PSK di Indonesia.
Menurut Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) dalam diskusi bersama Komnas HAM (6/9/2019), tercatat lebih dari 230.000 orang bergantung pada praktik prostitusi di Indonesia.
Angka tersebut cenderung naik kendati Kementerian Sosial dan pemerintah daerah telah menutup puluhan lokalisasi yang beroperasi di Indonesia.
Pemberantasan praktik prostitusi di Indonesia selama ini hanya berorientasi pada upaya represif berupa penegakan sanksi pidana baik terhadap PSK maupun terhadap muncikari.
Selain penegakan sanksi pidana, penegakan sanksi administratif seperti penutupan hingga pencabutan izin beberapa tempat terduga penyelenggara praktik prostitusi seperti hotel, panti pijat, dan tempat hiburan malam adalah andalan pemerintah dalam memberantas prostitusi di daerah.
Perlu diketahui bahwa faktor terbesar dari munculnya prostitusi adalah karena prostitusi merupakan resultante dari problematika kemiskinan di Indonesia.
Kemiskinan yang secara parsial dialami oleh sebagian kelompok masyarakat atau beberapa daerah tertinggal menyebabkan munculnya kesenjangan sosial akibat ketimpangan pembangunan.